05 Februari 2009

Keberlangsungan tradisi megalitik di daerah Way Sekampung


FUNGSI DAN PERANAN BATU BERGORES
DALAM TRADISI MEGALITIK:

Studi Kasus Temuan di Provinsi Lampung



Oleh: Nurul Laili




Latar Belakang
Kawasan Lampung termasuk daerah yang banyak mempunyai situs megalitik. Temuan yang diperoleh di setiap situs sangat beragam, seperti temuan megalitik di daerah lain, kawasan Lampung juga diperoleh antara lain dolmen, batu datar, batu berurut, menhir, batu kandang, dan batu bergores.

Batu bergores yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pahatan atau goresan pada temuan yang merupakan bagian dari tradisi megalitik. Wujud dari batu bergores berupa (1) monolit yang dipahat/gores; (2) jenis temuan megalitik lain (menhir, batu datar, dolmen yang terdapat pahatan/goresan).


Situs-situs megalitik di Indonesia yang memiliki tinggalan batu bergores, adalah Banyuurip (Purworejo, Jawa Tengah), Sumurpule (Rembang, Jawa Tengah), Bada (Sulawesi Tengah), Cicurug (Sukabumi, Jawa Barat), Cabangdua (Lampung Barat?), Bojong, dan Pugungraharjo (Lampung Tengah), Limbanang Atas ( Sumatera Barat), Tegurwangi Lama (Lahat, Sumatera Selatan ), Pandeglang (Banten), dan Watu Pinawetengan (Sulawesi Utara) (Haris Sukendar, 1979: 15; 1997/1998: 59-69; Anwar Falah, 1994: 25).

Fenomena yang ada menunjukkan temuan batu bergores secara kuantitatif merupakan temuan yang jauh lebih sedikit dibanding temuan megalitik lainnya. Untuk kawasan Lampung, batu bergores merupakan temuan paling minim dibanding temuan menhir, dolmen, ataupun batu datar. Di sebagian besar situs megalitik, temuan batu bergores selalu berasosiasi dengan temuan megalitik lainnya.

Situs-situs batu bergores di kawasan Lampung berada di

1. Kabupaten Lampung Timur, yaitu Situs Bojong, Benteng Nibung, dan Pugungraharjo

2. Kabupten Lampung Barat, yaitu Pekon Balak, Air Ringkih, dan Sukarame

Keberadaan batu bergores dalam tradisi megalitik tentunya mengandung maksud-maksud tertentu. Demikian pula halnya dengan pahatan/goresan yang ditorehkan pada sebuah batu dapat dipastikan mempunyai tujuan. Oleh karena itu, dalam kajian ini perlu dikedepankan permasalahan tentang apa fungsi dan peranan batu bergores dalam tradisi megalitik. Hal ini menjadi lebih menarik, karena temuan batu bergores paling sedikit dibanding temuan bangunan megalitik lainnya.
Tujuan dari kajian ini diharapkan dapat lebih mengungkap keberadaan batu bergores dan peranannya dalam suatu situs megalitik. Dengan demikian akan dapat diketahui kontribusi batu bergores dalam setiap situs megalitik.


Tinggalan Batu Bergores Lampung


Situs Bojong
Situs ini terletak di Desa Wana, Kecamatan Perwakilan Melinting, Kabupaten Lampung Timur.Situs diteliti pertama kali oleh tim Balai Arkeologi Bandung. Saat itu wilayah Wana termasuk Kabupaten Lampung Tengah (Falah, 1994: 25). Lahan situs ini merupakan lahan kebun lada yang dikelilingi oleh sungai kecil dan sawah rawa-rawa. Tinggalan yang diperoleh berupa batu berurut (stone avenue), batu bergores, dan dolmen. Batu berurut berjumlah 45 batu dengan jarak berkisar antara 2-6 meter dari satu batu ke batu lainnya. Di bagian pertengahan batu berurut terdapat beberapa batu bergores.Batu bergores di situs ini merupakan batu monolit. Di sekitar batu-batu bergores tersebut, terdapat susunan batu-batu yang diperkirakan susunan batu temu gelang (stone enclosure).

Torehan dalam batu bergores merupakan alur-alur bekas asahan yang terdapat pada bagian permukaan. Banyaknya alur bekas asahan di setiap batu bergores beragam, dari satu torehan sampai lebih. Bentuk gorsan merupakan garis-garis lurus yang tidak beraturan.

Salah satu bentuk batu bergores yang ditemukan di daerah Lampung


Benteng Nibung
Lokasi situs berada di Desa Wana, Kecamatan Perwakilan Melinting, Kabupaten Lampung Timur. Situs ini beberapa kali telah diteliti oleh beberapa ahli. Penelitian yang Balai Arkeologi Bandung dilakukan pada tahun 1998 (Yondri, 1998: 7 -- 20). Saat ini, Situs Benteng Nibung termasuk wilayah Kabupaten Lampung Timur, yang sebelumnya merupakan wilayah Kabupaten Lampung Tengah.

Benteng Nibung bersisian dengan Way Capang. Luas areal benteng sekitar 1,5 hektar membentang dengan orientasi barat-timur. Sisi selatan dan sisi barat benteng bertemu dengan Way Capang. Pada pertemuan ini dahulu terdapat beberapa batu bergores dan beberapa lumpang batu. Batu-batu tersebut dipecah untuk pengerasan jalan. Di situs ini juga banyak terdapat pecahan gerabah dan keramik.


Batu bergores yang diperoleh di situs ini tidak utuh dan terletak di dekat Benteng Nibung. Berdasarkan bagian sisa yang ada, dapat diperkirakan batu bergores tersebut memiliki diameter lebih dari 1 meter. Sedang batu bergores yang lainnya tidak ditemukan lagi sisa bagiannya. Seperti halnya Situs Bojong, goresan yang ada merupakan alur-alur batu asah yang terdapat dalam batu monolit dengan bentuk garis-garis lurus.


Situs Pugung Raharjo
Situs Pugungraharjo secara administratif termasuk wilayah Desa Pugungraharjo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Seperti halnya situs-situs lain di Lampung, situs ini pun beberapa kali telah diteliti. Situs Pugungraharjo menempati areal seluas kurang lebih 30 ha. Di sebelah selatan situs terdapat aliran sungai yang menjadi batas situs. Lahan situs dikelilingi fetur berupa benteng tanah dan parit. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian. Lebar benteng tanah tersebut kurang lebih 5 m, sedangkan tingginya berkisar 2-3 m. Di bagian luar benteng terdapat parit yang lebarnya antara 3-5 m.

Batu bergores di Pugungraharjo diperoleh di keseluruhan bagian situs. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang berbentuk denah segiempat. Kedua jenis tinggalan tersebut terdapat pahatan. Pahatan salah satu menhir yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedang pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Adapun pada bagian ketiga adalah batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Selain di lokasi yang telah disebutkan, temuan batu bergores juga diperoleh di mata air. Pada lokasi ini terdapat batu bergores, batu lumpang, dan batu berlubang. Seperti halnya temuan batu bergores di Situs Bojong dan Benteng Nibung, di situs ini batu bergores juga berupa batu monolit yang terdapat alur-alur bekas asahan dengan bentuk garis lurus.


Situs Pekon Balak
Situs ini termasuk wilayah Desa Pekon Balak, Kecamatan Perwakilan Batu Brak, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat (Yondri, 1997/1998). Situs ini merupakan lahan yang berada di sekitar Desa Pekon Balak. Temuan yang ada berupa dolmen, batu bergores, dan batu datar. Batu bergores ditemukan di lokasi pemakaman umum Desa Pekon Balak. Batu bergores berbentuk garis lurus yang merupakan alur-alur asahan benda tajam. Goresan tersebut berada di bagian permukaan dengan penggoresan di segala sisi. Secara keseluruhan goresan tersebut tidak memperlihatkan bentuk tertentu. Jumlah goresan sekitar 23 goresan.


Situs Batu Kenyangan
Situs ini merupakan bagian dari wilayah Desa Pekon Belak. Di situs ini terdapat dolmen, menhir, susunan batu melingkar, dan dolmen bergores (Yondri, 1997/1998). Batu bergores yang ada merupakan dolmen dengan ukuran luas permukaan cukup besar. Dolmen ini ditopang oleh 5 buah batu pemyangga yang diletakkan tidak berpola. Batu bergores berbentuk garis lurus yang merupakan alur-alur asahan benda tajam. Goresan tersebut berada di bagian permukaan dengan penggoresan di segala sisi. Secara keseluruhan goresan tersebut tidak memperlihatkan bentuk tertentu.


Situs Air Ringkih
Situs Air Ringkih secara administratif termasuk wilayah Ujungjaya, Desa Bungin, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Kondisi Situs merupakan tanah perbukitan, di sisi meander Sungai Ringkih, pada ketinggian 865 m di atas permukaan air laut (Indraningsih, 1985: 5--7). Situs ini merupakan kompleks dolmen dan menhir. Secara rinci terdiri dari 7 dolmen, 2 batu bergores, 6 batu yang diperkirakan menhir, 5 dolmen dalam posisi rebah, dan 1 batu tegak yang patah bagian atasnya. Batu bergores merupakan batu monolit, yang bagian permukaan terdapat garis-gari lurus bekas alur asahan.


Situs Cabangdua
Secara administratif berada di wilayah Desa Purawiwitan, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Situs ini berbentuk memanjang sekitar 173 meter. Temuan yang diperoleh berupa dolmen, dolmen bergores, gerabah, dan keramik. Identifikasi yang dilakukan, keramik berasal dari Cina abad ke-16--17. Batu bergores di situs ini merupakan dolmen, hampir keseluruhan permukaan batu penutup dolmen terlihat torehan yang berupa garis-garis. Hasil torehan berupa bentuk asahan benda tajam. Bentuk dari goresan berupa garis lurus dan garis melengkung.


Situs Sukarame
Situs Sukarame secara administratif berada di Desa Sukarame, Kelurahan Bawang, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Situs merupakan ladang dan dikelilingi parit yang cukup dalam. Temuan yang diperoleh adalah pecahan gerabah, keramik yang diidentifikasi berasal dari Dinasti Ming, manik-manik. Selain itu juga diperoleh sebuah batu bergores. Batu bergores di situs ini merupakan batu datar. Goresan yang ada terletak di bagian permukaan. Bentuk goresan berupa garis-garis (Sukendar, 1984: 8).


Fungsi dan Peranan Batu Bergores
Pada waktu kebudayaan megalitik berlangsung dengan saat ditemukan terdapat kesenjangan waktu. Dalam mengungkap keberadaan, fungsi, maupun peranan sangat mungkin terjadi penafsiran yang tidak tepat atau bahkan keliru. Beberapa pendekatan sudah banyak dilakukan para ahli dalan mengungkap kehidupan megalitik masa lalu. Tulisan inipun mencoba mengungkap tentang fungsi dan peranan batu bergores dengan pendekatan simbol.

Leslie White mendefinisikan simbol sebagai “a thing the value or meaning of which is bestowed upon by those who use it”. Dengan demikian simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan oleh mereka yang mempergunakannya. Dengan demikian makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, hanya dapat ditangkap melalui cara-cara non sensorik; melalui cara-cara simbolis (Kamanto, 1993: 43 -- 45).

Munculnya bahasa simbol, menurut Herbert Blumerm, terdapat tiga pokok pikiran. Pertama bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi seseorang dengan sesamanya. Ketiga makna yang diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process) (Kamanto, 1993: 43 -- 45).

Sejalan dengan itu, Victor Turner mengungkap makna simbol atau perbuatan simbolik diperlukan suatu interpretasi, yang dapat dilakukan melalui tiga tahapan sebagai berikut (Sudarmadi, 1994: 87 -- 88).

a. Tingkat makna eksegetik (exegetical meaning)
Interpretasi dalam tahap ini bersumber dari informan, yang memahami seluk beluk simbol tersebut.Dengan demikian tahapan ini mengacu pada penafsiran informan ditambah dengan interpretasi pada mitos-mitos yang ada.

b. Tingkat makna operasional (operational meaning)

Pada tahap selanjutnya, interpretasi dilakukan oleh peneliti berdasarkan pengamatannya terhadap masyarakat yang menggunakan simbol tersebut. Pada tahap ini perlu dilihat dalam rangka kegiatan apa simbol-simbol tersebut dipakai.

c. Tingkat makna posisional (positional meaning)
Simbol akan dapat diketaui maknannya berdasarkan pemahaman unsur-unsur keseluruhan simbol tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan simbol yang sering memiliki berbagai ragam makna (polysemi/multivocal) sehingga dengan memahami makna keseluruhannya dapat diketahui makna yang lebih diutamakan.

Fungsi dan peranan batu bergores dalam tradisi megalitik di kawasan Lampung dapat dipahami dengan menggunakan teori tiga tingkat yang telah disebut itu. Derajat penyimpangan dari penerapan teori akan sangat kecil. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa pendirian bangunan megalit adalah sama, yaitu kepercayaan terhadap orang yang telah meninggal, arwahnya tetap dan mengawasi serta melindungi masyarakat yang ditinggal. Dengan demikian menjaga hubungan dengan alam roh harus terjaga dengan cara melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur (Soejono, 1990: 212 -- 214).


Tingkat Makna Eksegetik
Situs-situs megalitik di Kawasan Lampung merupakan situs kategori “dead monument”. Dengan demikian situs megalitik tersebut sudah tidak terdapat aktivitas yang berkait dengan tradisi megalitik.Informasi tentang kehidupan megalitik hanya diperoleh dari pendapat ahli-akhli megalitik. Temuan batu bergores di kawasan Lampung biasanya merupakan temuan yang berasosiasi dengan jenis tinggalan megalitik lain. Dengan demikian dalam tingkat ini, diperlukan informasi tentang menhir, dolmen, batu datar, dan batu berurut.

Menhir berupa sebuah batu tegak yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Benda tersebut dianggap sebagai medium penghormatan, menampung kedatangan roh dan sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang diperingati (Soejono, 1990: 213).

Dolmen biasanya berbentuk batu datar monolit yang disangga oleh empat atau lebih tiang batu. Dolmen menurut beberapa ahli (Perry, 1923; Hoop, 1932) merupakan penguburan. Adapun menurut van Hekeeren (1955), dolmen ada hubungannya dengan penguburan. Dolmen merupakan tempat yang digunakan dalam upacara pemujaaan kepada arwah leluhur. Berdasarkan beberapa penggalian yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung di Batuberak dan sekitarnya, menunjukkan dolmen bukan merupakan suatu kuburan, tetapi ada hubungannya dengan penguburan, terutama pada pemujaaan kepada arwah leluhur (Saptono, 1994/1995: 13).


Menurut Kaudern yang dikutip oleh Haris Sukendar (1979: 15), batu bergores merupakan alat yang dipergunakan sebagai sarana pemberian kekuatan gaib terhadap suatu alat (senjata tajam) seperti pisau dan parang yang akan digunakan, yaitu dengan jalan mengasahkan alat pada batu tersebut.


Tingkat Makna Operasional
Penggunaan batu bergores oleh beberapa suku di wilayah Indonesia masih dilakukan. Masyarakat di Desa Woro (Rembang) menggunakan batu asah sebagai sarana pemberian kekuatan gaib terhadap parang atau pisau yang akan digunakan untuk membunuh musuh. Dengan jalan mengasahkan parang atau pisau ke batu tersebut maka orang itu dalam rencana membunuh musuhnya akan berhasil dengan baik. Ditambahkan juga apabila parang atau pisau yang telah diasah tadi tidak dipergunakan, maka orang yang bersangkutan akan terbunuh oleh parang atau pisau itu juga (Sukendar, 1979: 15). Temuan batu bergores di Desa Takirin, Timor merupakan tradisi yang masih berlanjut. Di desa ini jika akan dilaksanakan pertempuran dengan suku lain, senjata para pahlawan satu per satu harus diasah pada batu bertuah tersebut. Diharapkan senjata akan memperoleh kesaktian yang luar biasa dan akhirnya dapat membunuh semua musuhnya (Sukendar, 1997/1998: 64 -- 65).


Tingkat Makna Posisional
Pengamatan yang dilakukan pada asosiasi temuan batu bergores, yaitu menhir, dolmen, batu berurut, dan batu datar menunjukkan bahwa batu bergores berkait dengan pemujaan. Torehan yang dilakukan pada batu bergores sebagai visualisasi dari konsep pengagungan arwah leluhur. Dengan kata lain torehan yang dilakukan merupakan interaksi antara yang hidup dengan leluhur untuk mendapatkan kekuatan.


Simpulan
Batu bergores yang diperoleh kawasan Lampung, secara kuntitatif sangat sedikit dibanding jenis temuan megalitik lainnya. Fungsi dan peranan batu bergores di kawasan Lampung sangat berkait dengan pemujaan. Hal ini diperlihatkan dengan asosiasi temuan lainnya, yaitu menhir, dolmen, batu datar, dan batu berurut. Keinginan dan pengharapan dari pendukung budaya megalitik untuk mendapatkan kekuatan dari arwah leluhur memperlakukan batu bergores sebagai salah satu pelengkap dalam sarana pemujaan selain jenis megalitik lain. Bentuk visualisasi dari interaksi yang dilakukan dengan arwah leluhur dituangkan dalam bentuk goresan.


Daftar Pustaka


Falah, W. Anwar. 1994. “Penelitian Tradisi Megalitik di Situs Bojong Lampung Tengah”. Dalam Jurnal Balai Arkeologi Bandung (Edisi Perdana/1994). Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 25 -- 40.


Indraningsih, Ratna J. (et al). 1985. “Laporan Penelitian Arkeologi di Lampung”. Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.


Soejono, R.P (ed.). 1990. “Jaman Praserah di Indonesia”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. PN. Balai Pustaka.


Sudarmadi, Tular. 1994. “Kajian Ulang Fungsi Situs Megalitik Terjan: Tinjauan Aspek Simbolik”. Dalam Jejak-Jejak Budaya (Persempahan Untuk Prof. Dr. R.P. Soejono). Yogyakarta: Asosiasi Prehistori Indonesia Rayon II. Hlm. 83 – 100.


Sukendar, Haris. 1979. “Laporan Penelitian Kepurbakalaan Daerah Lampung”. Berita Penelitian Arkeologi No. 20. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.


----------, 1997/1998 “Batu Bergores Sebagai Simbol Religius”. Dalam Kebudayaan No. 13 Th. VII 1997/1998, Edisi Khusus. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 59 – 69.


Sukendar Haris, (et al.). 1984. “A. Survei di Daerah Lampung B. Survei di Daerah Sumatera Selatan”. Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.


Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.


Triwuryani, R.R. 1996. “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).


Yondri, Lutfi. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi di Situs Kenyangan dan sekitarnya, Desa Pekon Balak, Kecamatan Belalau, Kab. Lampung Barat, Prop. Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.




Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul “Hastaleleka: Kumpulan Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi”, hlm. 33 - 40. Editor Agus Aris Munandar. Jatinangor: Alqaprint, 2005.

04 Februari 2009

Interaksi antara Lampung dan Jawa pada masa Hindu-Buddha


LAMPUNG - SUNDA PADA MASA KLASIK


Nanang Saptono



Pendahuluan
Lampung dapat dimaknai sebagai kelompok etnik yang menggunakan Bahasa Lampung. Secara adat, yang termasuk masyarakat Lampung tidak sebatas yang berada di Propinsi Lampung, tetapi juga masyarakat di daerah Danau Ranau, Muaradua, Komering, hingga Kayu Agung, Provinsi Sumatera Selatan (Hadikusuma, 1989: 159). Munculnya sebutan Lampung mungkin masih relatif baru. Asumsi ini didasari pada kenyataan bahwa tidak pernah didapatkan sumber sejarah klasik yang menyebut Lampung, kecuali dalam kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca. Pada pupuh 13 dan 14 menyebut daerah-daerah Melayu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah-daerah itu adalah Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Parlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus (Muljana, 1979: 146 dan 279). Menurut pemberitaan dalam Nagarakrtagama, Lampung termasuk wilayah Kerajaan Melayu.

Sumber asing yang berkaitan dengan Lampung, cenderung menunjuk pada lokasi tertentu. Berita Cina menyebut Yeh-po-ti dan Po-hwang yang ada kaitannya dengan San-fo-tsi (Sriwijaya). Yeh-po-ti disebutkan dalam catatan perjalanan Fa-Hsien. Pada tahun 414 kapal yang ditumpangi Fa-Hsien terserang badai sehingga harus singgah di Yeh-po-ti. Masyarakatnya merupakan penganut Hindu. Lokasi ini hanya disebutkan satu kali saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekspedisi Cina jarang mendatangi lokasi ini. Yeh-po-ti dapat diasumsikan sebagai transliterasi dari Seputih (Sholihat, 1980: 5).

Po-hwang disebutkan dalam berita Cina pernah mengirim utusan ke negeri Cina pada tahun 442, 449, 451, 455, 456, 459, 464, dan 466. Toponim ini biasa dianggap sebagai singkatan dari toponim To-lang-po-hwang yang oleh G. Ferrand diidentifikasikan dengan Tulangbawang. R.M.Ng. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Way Tulangbawang (Sumadio, 1990: 79; Muljana, 1981: 20).

Tulangbawang selain disebut dalam berita Cina juga terdapat dalam sumber Portugis. Perjalanan Tome Pires dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberikan gambaran tentang keadaan dua lokasi di Lampung yaitu Tulangbawang dan Sekampung. Tulangbawang merupakan lokasi yang berbatasan dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian masyarakat Tulangbawang masih kafir atau penyembah berhala. Daerah ini merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antarpulau. Perjalanan dari Tulangbawang ke Sunda menyeberangi lautan dalam sehari sedangkan ke Jawa memerlukan waktu dua hari (Cortesão, 1967: 158 – 159).

Sekampung merupakan daerah yang sangat melimpah barang-barang komoditas seperti hasil bumi dan hasil hutan. Perdagangan dilakukan dengan Sunda dan Jawa. Barang dagangan meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan lada. Bahan makanan yang diperdagangan berupa beras, daging, ikan, minuman keras (wines), dan buah-buahan. Penguasa Sekampung yang disebut pate masih kafir. Masyarakatnya juga masih kafir. Perjalanan dari Sekampung ke Jawa menyeberang laut dengan menggunakan perahu (lancharas) dalam waktu tiga hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari (Cortesão, 1967: 158).

Sebagaimana Lampung, Sunda juga dapat dimaknai sebagai kelompok etnik. Kelompok ini mendiami suatu kawasan geografis yang berada di Jawa bagian barat. Sebutan Sunda juga terdapat pada beberapa sumber sejarah. Prasasti Rakryan Juru Pengambat (854 Ś atau 932 M), yang ditemukan di Bogor menyebut ba(r) pulihkan haji sunda. Kalimat ini menyiratkan bahwa Sunda merupakan nama kerajaan yang kekuasaannya dipulihkan kembali. Naskah kuna Carita Parahyangan menyebut Sunda sebagai nama kawasan (Sumadio, 1990: 356). Daerah yang dimaksud adalah dari Citarum ke barat (Danasasmita, 1975: 49). Selain sumber lokal, sebutan Sunda juga terdapat pada beberapa sumber asing. Berita Cina dari dinasti Ming menyebut-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt, 1960: 44). Berita Portugis dari Tomé Pires menyebutkan adanya kerajaan bernama regño de çumda yang sudah menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Kerajaan ini mempunyai enam kota pelabuhan di sepanjang pantai utara. Cheguide merupakan salah satu kota pelabuhan yang merupakan pintu gerbang perdagangan dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, dan tempat-tempat lain (Cortesão, 1967: 166 -- 171). Berdasarkan berbagai sumber sejarah, Sunda dapat dimaknai sebagai suatu kerajaan dan juga wilayah. Hubungan dagang Kerajaan Sunda selain dengan Portugis juga dengan daerah-daerah lain di Sumatera antara lain Tulangbawang dan Sekampung.

Dilihat dari sumber sejarah masa klasik, sebutan Lampung hanya dijumpai dalam uraian Nagarakrtagama. Berkaitan dengan Lampung, baik sumber Cina maupun Portugis menyebut lokasi yang lebih spesifik yaitu Tulangbawang dan Sekampung. Dua daerah ini diberitakan sangat intensif melakukan hubungan dagang dengan Sunda. Sebutan Sunda dalam sumber sejarah pertama kali muncul pada prasasti Rakryan Juru Pengambat (854 Ś atau 932 M). Pada berbagai sumber sejarah, sebutan Sunda selain merujuk pada satu kawasan juga merupakan satu institusi kekuasaan berupa kerajaan. Dalam kenyataannya baik di Tulangbawang, Sekampung, maupun Sunda terdapat banyak situs yang mengindikasikan bahwa masyarakatnya pernah menjalin kontak terutama perdagangan. Selanjuytnya dibahas kemungkinan adanya kontak antar masyarakat pendukung situs di Lampung dan Sunda dalam kaitannya dengan perdagangan dan pengaruh budaya akibat interaksi tersebut.

Tinjauan Singkat Sejarah
Sejarah Lampung pada masa pengaruh budaya Hindu-Buda (masa klasik) belum banyak terungkap. Beberapa prasasti yang terdapat di Lampung memberi gambaran tentang Lampung. Prasasti yang ada antara lain merupakan prasasti Sriwijaya. Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di daerah Lampung antara lain prasasti Bungkuk, Palas Pasemah, dan Batubedil. Prasasti Palas Pasemah ditemukan di tepi Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut memuat catatan tentang bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti ini diduga berasal dari abad ke-7 (Purwanti, 1995: 98; Boechari, 1979: 19 – 40).

Prasasti Batubedil ditemukan di daerah Batubedil, Kecamatan Talangpadang, Lampung Selatan. Prasasti ini meskipun hurufnya besar namun sudah aus sehingga sulit dibaca. Pada bagian yang terbaca dapat diketahui bahasa yang dipakai adalah Sansekerta. Bagian yang terbaca tersebut berbunyi namo bhagawate dan pada baris ke-10 swãhã. Dilihat dari segi paleografisnya sangat mungkin berasal dari sekitar abad ke-9 atau ke-10. Namo bhagawate dipermulaan dan swãhã sebagai penutup merupakan mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50).

Prasasti dengan isi yang hampir sama dengan prasasti Batubedil ditemukan di Rebangpugung, Kotaagung, Lampung Selatan. Prasasti yang kemudian dikenal dengan nama prasasti Ulubelu ini diperkirakan berasal dari abad ke-15. Isi prasasti berupa permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu. Selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh (Lasmidara, 2003: 9).

Di dekat Simpang Sebelat sekitar 13 km dari kota Liwa, tepatnya di Dusun Harakuning, Desa Hanakau, Kecamatan Sukau, Lampung Barat terdapat prasasti Hujunglangit atau juga disebut prasasti Bawang. Prasasti berbahasa Melayu Kuna ini tidak menyebut satu kerajaan. Bagian yang dapat terbaca diantaranya menyebut tatkala, sa-tanah, sa-hutan, Śrī haji, dan unsur penanggalan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Louis-Charles Damais penanggalan prasasti ini yaitu 919 Śaka atau 997 M. Berdasarkan bentuk huruf dan sistem penanggalan yang memakai unsur wuku, terlihat adanya pengaruh Jawa. Gelar Śrī haji yang disebutkan merupakan gelar yang kedudukannya di bawah maharaja. Oleh karena itu sangat mungkin prasasti ini dikeluarkan oleh raja bawahan (Agus, 1995: 63 -- 64; Yondri, 1995: 52 -- 58; Soekmono, 1985: 49; Damais, 1995: 31 -- 37).

Berdasarkan data prasasti pada sekitar abad ke-7 hingga ke-11, Lampung merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Selain Lampung, Jambi dan Bangka juga menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya. Penguasaan ini salah satunya dilandasi sumberdaya emas yang ada di wilayah itu. Untuk melancarkan dan mengembangkan jalur distribusi emas, dilakukan penaklukan-penaklukan ke berbagai wilayah yang belum tunduk kepada Sriwijaya (Rangkuti, 1994: 165 – 166). Kekuasaan Sriwijaya terhadap Lampung tampaknya tidak meliputi seluruh wilayah tetapi hanya daerah-daerah yang dianggap penting bagi Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit berdasarkan unsur penanggalan dan paleografisnya memberi arah dugaan pada adanya pengaruh kekuasaan Mpu Sindok dan Erlangga (Soekmono, 1985: 49). Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, daerah-daerah di Lampung bangkit sebagai daerah yang merdeka. Namun tampaknya daerah-daerah itu bukan merupakan institusi kerajaan yang besar.

Menurut catatan Tomé Pires, yang ditulis pada abad ke-16, beberapa daerah di Lampung menjalin hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Hubungan ini mungkin terjadi sejak Lampung di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pada tahun 1017, 1025, dan 1068 Sriwijaya diserang kerajaan Cola, India. Serangan-serangan ini melemahkan Sriwijaya, sehingga kerajaan Melayu (Jambi) melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Kerajaan Melayu akhirnya dapat menguasai Sriwijaya dan semenanjung Malaka. Prasasti Grahi bertarikh 1183 yang ditemukan di semenanjung Malaka menyebut nama Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusanawarmadewa. Sebutan srimat menunjukkan pembesar Melayu sebagaimana yang terdapat pada prasasti Padang Roco. Hal ini menunjukkan semenanjung Melayu pada tahun 1183 berada di bawah kekuasaan Melayu. Kekuasaan Melayu hingga meliputi seluruh pantai timur Sumatera. Keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1377 Melayu ditaklukkan oleh Majapahit (Sholihat, 1980: 5). Prapanca dalam Negarakrtagama menyatakan bahwa Melayu berada di bawah kekuasaan Majapahit yang daerah-daerahnya antara lain meliputi Lampung (Muljana, 1979: 146). Dengan demikian mungkin hubungan perdagangan yang diberitakan Tomé Pires sudah terjadi setelah tahun 1377 ketika Melayu ditaklukkan Majapahit.

Berkaitan dengan penaklukan Melayu oleh Majapahit, terjadi peristiwa penting yaitu peristiwa Bubat. Carita Parahyangan, Kidung Sundãyana, dan Pararaton mencatat peristiwa tersebut yaitu sebagai usaha penaklukan Sunda oleh Majapahit tetapi gagal. Nagarakrtagama tidak mencatat peristiwa ini karena Prapanca sebagai pujangga kraton tampaknya sengaja menyembunyikan peristiwa yang menjelekkan nama raja tersebut. Pada waktu peristiwa ini terjadi raja yang berkuasa di Sunda adalah Prebu Maharaja.

Setelah peristiwa Bubat, Wastu Kañcana naik tahta. Karena masih kecil, maka pemerintahan dipe¬gang oleh Hyang Bunisora. Setelah Hyang Bunisora meninggal dunia pada tahun 1371, Wastu Kañcana memegang pemerintahan. Menurut Carita Parahyangan, Wastu Kañcana memerintah selama 104 tahun (1371 - 1475 M). Pada masa ini pusat pemerintahan kerajaan Sunda di bagian timur yaitu di Kawali. Sepeninggal Wastu Kañcana, digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana. Pusat pemerintahannya dipindahkan dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Pada masa pemerintahan Ningrat Kañcana ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran (Sumadio, 1990: 364 -- 369). Bila mengacu pada berita Tomé Pires, hubungan antara Sunda dengan Lampung intensif pada masa akhir kerajaan Sunda. Pada masa itu pusat kerajaan Sunda berada di Kawali dan Pakwan Pajajaran. Tomé Pires juga menyebutkan bahwa perdagangan dari kawasan Lampung melalui pelabuhan Cheguide.

Jejak-jejak Arkeologis
Mengacu pada berita Tomé Pires, kawasan Lampung yang intensif berhubungan dengan Sunda adalah Sekampung dan Tulangbawang. Pelabuhan Sunda di pantai utara yang menjadi pintu gerbang adalah Cheguide. Di sepanjang DAS Way Sekampung terdapat sekitar sebelas situs pemukiman yang ditandai dengan benteng tanah. Situs-situs tersebut adalah Pejambon, Gelombang, Pugung Raharjo, Parigi, Gedig, Benteng Sari, Cicilik, Jabung, Negara Saka, Batu Badak, dan Meris (Triwuryani, 1998). Salah satu situs yang dinilai penting adalah Pugung Raharjo. Secara administratif situs ini termasuk di wilayah Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Jabung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian.

Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugung Raharjo ini terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Pada salah satu punden ditemukan batu tufa berangka tahun 1247 Ś. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang tersimpan di rumah informasi situs Pugung Raharjo. Arca menggambarkan tokoh laki-laki duduk di atas padmasana ganda yang berbentuk bulat dengan sikap Vajrasana. Pada bagian belakang padmasana terdapat bingkai menonjol, berhias motif sulur. Pada arca tidak dilengkapi stela.

Sikap tangan atau mudra digambarkan telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Kedua telapak tangan berada di depan dada. Mudra seperti ini tidak lazim, tetapi mendekati naivedyamudra yaitu mudra yang diilhami sikap yang biasa digunakan oleh para penganut aliran tantrisme dalam memberikan persembahan. Dilihat dari cirinya, arca ini menggambarkan salah satu tokoh Tantrisme. Arca tersebut bergaya Jawa Timur, sebelum jaman Majapahit sekitar abad ke-12 atau ke-13 (Soekatno, 1985: 165 – 166; Widyastuti, 2000: 132 – 133). Keramik yang ditemukan kebanyakan keramik Cina dari abad ke-8 atau ke-9 sampai dengan abad ke-17 (keramik Tang hingga Qing). Tembikar yang ditemukan kebanyakan berupa wadah baik terbuka maupun tertutup. Fragmen kendi tipe lokal yang disebut kibu juga banyak ditemukan. Berdasarkan tinggalan arkeologik yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa situs Pugung Raharjo berkembang sejak zaman Majapahit hingga abad ke-17. Melimpahnya keramik asing menunjukkan aktivitas perdagangan berlangsung secara intensif.

Mengenai Tulangbawang, hingga sekarang tercatat 18 situs pemukiman yang juga ditandai benteng tanah. Situs tersebut dijumpai di sepanjang Way Kiri, Way Kanan, dan Way Tulangbawang. Way Tulangbawang adalah sungai utama yang merupakan menyatunya antara Way Kiri dan Way Kanan. Kedua sungai ini menyatu di Pagardewa. Pada sepanjang Way Kiri terdapat situs Bumiagung Tua, Karta Talang, Benteng Sabut atau Bujung Menggalou, Gedong Ratu Tua, Benteng Prajurit Puting Gelang, Keramat Gemol, Benteng Minak Temenggung, dan Pagardewa. Pada sepanjang Way Kanan terdapat situs Batu Putih, Gunung Terang, dan Benteng Aceh. Pada sepanjang Way Tulang Bawang terdapat situs Benteng Bakung, Gunung Tapa, Gedong Meneng, dan Dente. Selain pada sepanjang sungai besar, juga terdapat situs yang berada di tepi sungai kecil. Situs-situs itu adalah Jung Belabuh di tepi Tulung Kalutum, Bakung Nyelai di tepi Tulung Bakung Nyelai, dan Umbul Lekou di tepi Way Bawang Bakung.

Penelitian intensif pernah dilakukan di situs Benteng Sabut dan Gunung Terang. Situs Benteng Sabut secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut kemudian belok ke arah utara agak ke timur, selanjutnya agak berbelok ke arah timur. Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan (Saptono, 2002: 88 – 89).

Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias, di antaranya merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.

Benda tembikar ada yang berupa terakota berbentuk kubus berukuran sekitar 1,5 X 1,5 X 3 cm. Pada keempat sisi panjang berhias garis-garis. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Analisis keramik pada aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 hingga ke-7), T’ang (abad ke-7 -- 10), Song (abad ke-10 -- 13), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-14 -- 17), Qing (abad ke-17 -- 20), Thailand (abad ke-13 -- 14), Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19  20) (Saptono, 2003: 42 -- 43).

Gunung Terang merupakan situs pemukiman yang berkembang hingga sekarang menjadi perkampungan. Menurut cerita masyarakat, sebelumnya kampung itu merupakan perkampungan orang Melayu yang kemudian diduduki orang Gunung Terang. Sebelumnya orang Gunung Terang bermukim di seberang sungai yang sekarang dikenal dengan nama Batu Putih. Jejak-jejak pemukiman lama berupa fetur parit dan sebaran artefak. Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga sungai kecil yang disebut Way Ngisen. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung. Di sebelah tenggara terdapat gunung yang dikeramatkan disebut Gunung Sri Gandow.

Bekas kampung lama terdiri bekas Kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung Terang. Lokasi bekas Kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman dekat Lebung Tikak. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali hanya sebaran artefak pada lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2 hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang lama. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat bekas bangunan tempat musyawarah adat (sesat) masyarakat Gunung Terang yang disebut Sesat Watun. Pengamatan di sekitar lokasi terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal (Saptono, 2004: 47 – 49).

Analisis keramik temuan ekskavasi menunjukkan dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 -- 7), T’ang (abad ke-7 -- 10), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-15 -- 17), Qing (abad ke-17 -- 20), Thailand (abad ke-13 -- 14), Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19 -- 20). Keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak. Fragmen keramik dari Eropa merupakan temuan terbanyak kedua, selanjutnya fragmen keramik Cina masa dinasti Ming. Keramik T’ang hanya ditemukan sebanyak 2 keping. Keramik masa dinasti Sui dan Han masing-masing hanya ditemukan 1 keping. Tembikar yang ditemukan kebanyakan berasal dari tipe periuk, tempayan, kibu, dan tungku lokal yang disebut tumang (Saptono, 2004 a: 30).

Di Sunda, menurut catatan Tomé Pires yang mempunyai peranan dalam hubungan dengan Lampung adalah Cheguide. C. Guillot berdasarkan kronik Barros, Couto, peta C. 1540, roteiro C. 1528, dan akta notaris 1527 menarik satu hipotesis bahwa Cheguide berada antara Pontang dan Tangerang, tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane yaitu di sekitar Kali Kramat (Guillot, 1992: 15 -- 16). Penelitian lapangan di situs Kramat menemukan indikator pemukiman di tepi pantai (pelabuhan). Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji. Di kawasan situs ini terdapat beberapa objek arkeologis antara lain makam, fragmen komponen bangunan, kapal, serta fragmen keramik, gerabah, dan besi.

Makam yang terdapat di situs ini berupa makam panjang. Tokoh yang dimakamkan bernama Syekh Daud bin Said pendatang dari Hadramaut. Berdasarkan pengamatan pada singkapan hasil penggalian masyarakat banyak ditemukan artefak berupa fragmen keramik baik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca, dan fragmen besi. Artefak tersebut kebanyakan ditemukan pada kedalaman sekitar 0,5 m. Berdasarkan sebaran artefak yang terdapat di permukaan, luas situs diduga sekitar 10 hektar. Berdasarkan keterangan penduduk setempat juga pernah ditemukan beberapa keping mata uang. Fragmen komponen bangunan yang ditemukan berupa ubin terakota, struktur bekas sumur berbentuk lingkaran, fondasi bangunan yang juga dari bahan bata.

Pada empang di sebelah utara perkampungan, berjarak sekitar 0,5 km atau 0,5 km dari pantai terdapat fragmen kapal dengan posisi membentang arah timur-barat (sejajar dengan garis pantai). Fragmen kapal yang terlihat merupakan bagian sisi lambung sepanjang sekitar 2 m. Bagian yang lain masih tertimbun tanah. Ujung kapal selanjutnya terlihat pada empang di sebelahnya. Secara keseluruhan dari ujung ke ujung yang masih ada panjangnya sekitar 6 m. Kapal ini terbuat dari bahan besi.

Keseluruhan temuan fragmen keramik, yang tertua berasal dari masa dinasti T’ang (abad ke-7 -- 10) dan yang termuda keramik Eropa (abad ke-19 -- 20). Berdasarkan temuan keramik tergambar bahwa pemukiman di situs Kramat berlangsung paling lama sejak abad ke-7 -- 20. Namun karena tidak ditemukannya keramik dari masa dinasti Yuan (abad ke-13 -- 14) dapat diduga pada masa-masa tersebut mengalami pasang surut. Aktifitas meningkat secara pesat pada masa dinasti Ming (abad ke-14 -- 17) dan mencapai puncaknya pada masa dinasti Qing (abad ke-17 -- 20) dan selanjutnya surut lagi (Saptono, 1998: 245 – 248). Surutnya aktivitas pada abad ke-13 hingga ke-13 mungkin juga disebabkan pada kurun waktu itu pusat pemerintahan kerajaan Sunda berada di wilayah timur yaitu di Kawali.

Artefak Sebagai Tanda Adanya Interaksi
Situs-situs arkeologi baik di Lampung maupun Sunda yang diduga ada interaksi semuanya mengandung tinggalan artefak keramik asing. Adanya artefak keramik menunjukkan terjadi suatu interaksi khususnya perdagangan. Karena artefak keramik asing merupakan barang komoditas yang peredarannya sangat luas, maka sangat sulit dipakai untuk mencari jejak interaksi antar lokasi. Pada aspek penanggalan secara relatif, artefak keramik asing yang terdapat di beberapa situs di Lampung maupun Sunda menunjukkan dari kurun waktu yang tidak berbeda. Dengan demikian secara umum dapat ditemui suatu gambaran adanya interaksi antara Lampung dan Sunda. Untuk melihat adanya interaksi antar wilayah dapat dilihat melalui keberadaan artefak lokal antara lain tembikar.

Benda tembikar dengan bentuk spesifik bagi masyarakat Lampung misalnya kibu (kendi) dan tumang (tungku berkaki tiga khas Lampung). Kibu mempunyai variasi bentuk sekitar sepuluh macam. Salah satu bentuknya mirip buah labu (waluh) bulat. Kepala datar dan pepat. Lubang terdapat di sisi leher. Cerat lebar membentuk garis menyatu dengan badan. Bentuk lain ada yang mirip dengan kamandalu yang dibawa pendeta dan dewa Siwa maupun Buda. Kendi yang terkenal dihias dengan arca pengantin yang distilir terdapat di bagian atas (Satari, 1990: 199).

Di Trowulan pernah ditemukan fragmen kibu (Satari, 1990: 195). Hal ini sesuai dengan sumber sejarah bahwa antara Lampung dengan Majapahit ada interaksi. Di situs Kramat, meskipun merupakan pelabuhan sebagai gerbang antara Sunda dan Lampung, namun tidak ditemukan fragmen kibu atau tumang. Artefak semacam ini pernah ditemukan di kawasan Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Ciamis. Kawasan Kertabumi diapit dua sungai yaitu Cimuntur dan Cileueur. Di kawasan ini terdapat dua situs yaitu situs Gunung Susuru, dan Bojong Gandu. Situs Gunung Susuru merupakan suatu tonjolan bukit yang terbentuk oleh batuan breksi volkanik. Situs ini berada di ujung tenggara. Situs Bojong Gandu berada di sebelah barat laut situs Gunung Susuru. Tinggalan arkeologis yang ada di kawasan Kertabumi berupa batu datar, punden berundak, gua, makam kuna, bekas benteng dari susunan batu, sumur, batu bersusun, dan benda artefaktual. Artefak yang pernah ditemukan antara lain beliung persegi, bola batu, batu pipisan, gelang emas, manik-manik, keramik, dan tembikar (Agus, 2001: 150 – 151; Widyastuti, 2001: 101 – 102).

Gua di Kertabumi berada di situs Gunung Susuru. Gua yang ada berjumlah lima, tiga di antaranya telah digali penduduk. Beberapa benda arkeologis temuan hasil penggalian penduduk antara lain berupa gigi dan tulang binatang yang sudah mengalami pemfosilan (sub-fosil), fragmen keramik, dan fragmen tembikar (Agus, 2001: 157). Secara tipologis fragmen tembikar temuan penduduk tersebut ada yang berasal dari bentuk kibu dan tumang.


Fragmen tungku (A) yang disebut tumang, ditemukan di Gunung Terang, Tulangbawang, (B) ditemukan di Kertabumi, Ciamis

Penelitian yang pernah dilakukan antara lain menemukan fragmen keramik dan tembikar. Artefak tersebut selain ditemukan pada gua di situs Gunung Susuru, juga banyak ditemukan di situs Bojong Gandu. Analisis pertanggalan secara relatif terhadap keramik menunjukkan berasal dari Cina masa dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing. Selain itu juga ada keramik Thailand, Vietnam, dan Eropa. Berdasarkan pengamatan terhadap seluruh tenuan keramik asing, keramik Cina masa dinasti Ming dan Qing merupakan temuan terbanyak selanjutnya keramik Eropa dan Thailand (Widyastuti, 2002: 103).


Terakota berbentuk pipih panjang yang disebut kue, ditemukan di situs Kertabumi, Ciamis.

Beberapa temuan tembikar ada yang berupa terakota berbentuk pipih panjang. Masyarakat setempat menyebut benda semacam ini dengan istilah kue. Benda semacam ini ditemukan dalam jumlah sangat banyak. Pengamatan pada benda tersebut menunjukkan bermacam-macam variasi penampang lintang yaitu segi empat, setengah lingkaran, elips, dan trapesium. Pada bagian sisi panjang dihias dengan teknik gores dan sebagian tekan. Ragam hias yang ada kebanyakan berupa garis-garis dengan sebelas variasi motif (Widyastuti, 2001: 102 – 111). Fragmen terakota berbentuk kue juga pernah ditemukan di situs Benteng Sabut, Tulangbawang.

Berdasarkan kesamaan ragam artefak tersebut, sangat mungkin pernah terjadi interaksi antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Sunda. Kibu dan tumang yang merupakan benda tembikar khas Lampung ditemukan juga di kawasan Kertabumi, Ciamis. Sedang benda terakota berbentuk kue juga pernah ditemukan di Tulangbawang. Dengan demikian terdapat gambaran bahwa antara masyarakat pendukung situs Susuru di Kertabumi dengan masyarakat Tulangbawang telah terjadi interaksi.

Sejenis dengan benda terakota berbentuk kue juga pernah ditemukan di situs Ratu Balaw. Situs Ratu Balaw secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Kedamaian, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota Madya Bandar Lampung. Lokasi situs diapit dua aliran sungai yaitu Way Balaw yang mengalir di sebelah utara hingga timur situs dan Way Awi atau Way Kedamaian yang mengalir di sebelah barat hingga selatan situs. Kedua sungai ini kemudian menyatu di sebelah tenggara situs membentuk aliran Way Lunik. Di sebelah baratlaut situs terdapat Gunung Camang dan di sebelah timur situs terdapat Gunung Pemancar. Benda sejenis kue yang ditemukan di situs Ratu Balaw bukan terbuat dari terakota tetapi dari batu dan tidak berhias. Sisi-sisi batu tersebut polos. Ditinjau dari aspek historis, masyarakat di Balaw ada kaitan dengan masyarakat Sunda kuna sekitar abad ke-16.



Batu berbentuk bulat pipih dari situs Ratu Balaw

Menurut cerita sejarah yang berkembang di masyarakat keturunan Ratu Balaw, Keratuan di Balaw berdiri sejak sebelum Islam masuk di Lampung, sejaman dengan kerajaan Sriwijaya, Tulangbawang, dan Sekala Berak yaitu pada sekitar abad ke-7 atau ke-8. Tokoh yang mendirikan adalah Radin Kunyayan dengan istrinya yang bernama Putri Kuning. Radin Kunyayan merupakan keturunan Keratuan Pugung Skala Berak dari daerah Ranau, bergelar Ratu Sai Ngaji Saka. Keratuan di Balaw mula-mula berada di daerah Krui pada ujung muara Way Balaw Krui. Dari lokasi ini kemudian pindah ke muara Way Balaw yang sekarang berada di Tiyuh Kedamaian. Tokoh penguasa Keratuan Balaw antara lain adalah Ratu Mungkuk, Ratu Jang Kuna, Ratu Pujaran, dan Ratu Lengkara. Pada abad ke-16 Keratuan Balaw berada di bawah kepemimpinan Ratu Lengkara (Djubiantono, 2004: 9).

Sumber lain menyebutkan bahwa Keratuan di Balaw berhubungan dengan Sunda. Di Lampung pernah datang Ratu Alangkara dari Pajajaran disertai dua orang panglima yang bernama Ratu Mungkuk dan Ratu Jangkung. Mereka ke Lampung dalam rangka mengejar anak gadisnya yang dilarikan orang Lampung. Mengejar dalam bahasa Lampung adalah bualaw. Mereka tidak berhasil tetapi enggan kembali ke Pajajaran karena baik di Pajajaran, Banten, maupun Majapahit telah pindah ke agama Islam. Mereka kemudian mendirikan pemukiman di sekitar Way Awi dekat Teluk Betung dan menyebut diri dengan Ratu Alangkara Pajajaran. Mereka masih tetap beragama Hindu. Di Lampung lebih dikenal dengan sebutan Ratu Balaw (Warganegara, 1994: 15; Soebing, 1988: 9).

Perbedaan dalam cerita sejarah tersebut memang perlu pengkajian lebih dalam lagi. Dilihat dari tokoh yang diceritakan memang banyak kesesuaian. Lokasi cerita pun sama, yaitu di pertemuan antara Way Awi dan Way Lunik. Namun mengenai asal-usulnya sangat bertentangan. Menurut versi masyarakat Balaw sendiri, mereka mengaku berasal dari Way Balaw, Krui. Cerita versi masyarakat Tulangbawang dan Abung menyebutkan dari Pajajaran. Bila dilihat dari tinggalan batu yang bentuknya mirip dengan terakota kue, mungkin memang ada hubungan antara Balaw dengan Sunda.

Penutup
Pada masa klasik awal sekitar abad ke-5, di Lampung dikenal adanya kerajaan Tulangbawang. Pada suatu masa kerajaan ini mengalami kemunduran dan akhirnya punah. Selanjutnya kawasan Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Setelah Sriwijaya runtuh, Lampung berada di bawah kekuasaan Melayu Jambi. Keberhasilan Majapahit menaklukkan Melayu, mengakibatkan Lampung berada di bawah kekuasaan Majapahit. Kontrol Majapahit terhadap Lampung tampaknya tidak begitu ketat. Pada masa ini Lampung tidak hanya berinteraksi dengan Majapahit tetapi juga dengan Sunda.

Pada masa klasik akhir, ketika mulai muncul komunitas muslim di daerah pantai, hubungan antara Lampung dengan Sunda semakin intensif. Pada masa ini di Lampung tidak ada kekuatan politik besar berupa kerajaan, tetapi semacam kelompok masyarakat dalam bentuk keratuan. Dalam catatan Tomé Pires, Lampung tidak lagi disebut tetapi lebih ke lokasi spesifik yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Meskipun Tomé Pires menyebutkan dengan jelas bahwa gerbang masuk dari kawasan Lampung ke Sunda adalah pelabuhan Cheguide, tetapi di situs Keramat yang merupakan lokasi pelabuhan Cheguide tidak ditemukan artefak spesifik yang menunjukkan adanya hubungan tersebut.

Melalui perbandingan artefak berupa fragmen tembikar dari bentuk kibu dan tumang, yang merupakan benda spesifik dari Lampung, dapat ditarik suatu hipotesis bahwa hubungan antara Lampung dan Sunda, khususnya terjadi antara Sekampung dan Tulangbawang (Lampung) dengan kawasan Kertabumi (Sunda). Hal ini didasari bahwa fragmen kibu dan tumang juga ditemukan di Kertabumi. Selain itu juga diperkuat adanya temuan terakota berbentuk kue di Tulangbawang yang merupakan artefak spesifik dari Kertabumi. Fenomena seperti ini memunculkan dugaan bahwa kawasan Kertabumi merupakan lokasi penting bagi kerajaan Sunda. Mungkin kawasan Kertabumi adalah ibukota kerajaan Sunda di Galuh.

Terakota berbentuk kue yang merupakan artefak spesifik dari Kertabumi, secara tipologis mempunyai kesamaan dengan salah satu artefak batu yang ditemukan di situs Ratu Balaw. Kesamaan tipe ini mengarahkan pada dugaan bahwa antara Kertabumi (Sunda) dengan Balaw ada kaitan. Dugaan ini juga dilandasi cerita sejarah masyarakat Tulangbawang dan Abung mengenai Keratuan Balaw yang menyatakan bahwa masyarakat Balaw berasal dari Pajajaran.


Daftar Pustaka

Agus

1995 “Lingkungan dan Kaitannya Dengan Tinggalan Arkeologis di Situs Harakuning”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung Nomor 2/November/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 62 -- 71.

2001 “Lingkungan dan Tinggalan Arkeologi di Kawasan Kertabumi: Bahasan Deskriptif Atas Temuan Situs Baru”. Dalam Tony Djubiantono dan Moh. Ali Fadillah (ed.), Manusia dan Lingkungan: Keberagaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 148 – 160.

Boechari

1979 “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong)”. Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 19 -- 40.

Cortesão, Armando

1967 The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.

Damais, Louis-Sharles

1995 “Tanggal Prasasti Hujung Langit (‘Bawang’)”. Dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: Ecole Française d’Extrême-Orient – Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 27 – 45.

Danasasmita, Saleh

1975 “Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan Antara Kerajaan Galuh Dengan Pajajaran”. Dalam Atja (ed.), Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat. Hlm. 40 – 81.

Djubiantono, Tony et al.

2004 Laporan Survei, Pemetaan Dan Penggalian Arkeologi di Kawasan Situs Keratuan Balaw Dusun Keramat Balaw, Kelurahan Kedamaian Bandar Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, Asdep Urusan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Bandung.

Groeneveldt, W.P.

1960 Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: C.V. Bhratara.

Guillot, C

1992 “Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522”. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Hadikusuma, Hilman

1989 Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.

Lasmidara, Ira

2003 “Napak Tilas Aksara Nusantara”. Dalam SKH Republika, 2 Februari 2003. Hlm. 9.

Muljana, Slamet

1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

1981 Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Purwanti, Retno

1995 “Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hal. 98 -- 103.

Rangkuti, Nurhadi

1994 “Emas dan Tanah: Kasus Penguasaan Sumber-sumber Ekonomi di Sumatera dan Jawa Pada Abad VII – X Masehi (Kajian Prasasti-prasasti Masa Sriwijaya dan Mataram Kuna)”. Dalam Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna, Berkala Arkeologi, Th. XIV, Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 163 – 169.

Saptono, Nanang

1998 “Cheguide”. Dalam Tony Djubiantono, et al. (ed.), Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

2002 “Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Puting Gelang, dan Keramat Gemol”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 86 – 101.

2003 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Permukiman Benteng Di Kampung Gunungkatun Tanjungan Dan Gunungkatun Malay Kec. Tulangbawang Udik, Kab. Tulangbawang, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

2004 “Struktur ‘Kota’ Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 42 – 54.

2004a Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Pemukiman di Gunung Terang – Gunung Agung dan Sekitarnya, Kabupaten Tulangbawang, Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Satari, Sri Soejatmi

1990 “Kendi di Indonesia”. Dalam Edi Sedyawati, dkk. (ed.), Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hlm. 191 – 202.

Sholihat, Nia Kurnia

1980 “Abad 13, Sriwijaya Sudah Tak Ada Lagi”. Dalam SKH Sinar Harapan, 9 April 1980. Hlm. 5.

Soebing, Abdullah A

1988 Kedatuan di Gunung – Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.

Soekatno, Endang Sh.

1985 “Catatan Tentang Arca Masa Klasik dari Pugungrahardjo, Lampung”. Dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 163 – 174.

Soekmono

1985 “Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi”. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang (ed.)

1990 “Jaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Triwuryani, Rr.

1996 “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).

1998 “Pola Tata Letak Situs Tradisi Megalitik di DAS Sekampung”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Cipayung 16-20 Februari 1998. (belum diterbitkan).

Warganegara, Marwansyah

1994 Riwayat Orang Lampung. (manuskrip).

Widyastuti, Endang

2000 “Penentuan Periode Situs Pugung Raharjo Berdasarkan Gaya Bangunan”. Dalam Fachroel Aziz dan Etty Saringendyanti (ed.), Cakrawala Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 127 – 134.

2001 “Temuan Terakota dari Situs Bojong Gandu, Kertabumi, Ciamis: Sebuah Telaah Bentuk dan Ragam Hias”. Dalam Tony Djubiantono dan Moh. Ali Fadillah (ed.), Manusia dan Lingkungan: Keberagaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 99 – 112

2002 “Tembikar dan Keramik dari Kawasan Kertabumi”. Dalam Endang Sri Hardiati (ed.), Tapak-tapak Budaya. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 98 – 110.

Yondri, Lutfi

1995 “Beberapa Peninggalan Arkeologis di Dusun Harakuning, Lampung”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung Nomor 2/November/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hal. 51 -- 61.







Catatan: Tulisan ini terbit di buku berjudul “Hastaleleka: Kumpulan Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi”, hlm. 51 – 66. Editor Agus Aris Munandar. Jatinangor: Alqaprint, 2005.


02 Februari 2009

Menelusuri Perkampungan Kuna di Way Kanan (2)


STRUKTUR “KOTA” KUNA GUNUNG TERANG,

TULANGBAWANG, LAMPUNG


Nanang Saptono




PENDAHULUAN
Kondisi geografis kawasan Tulangbawang, Lampung merupakan daerah pedataran rendah sedikit bergelombang. Di antara bukit-bukit kecil dan pedataran, banyak terdapat rawa (bawang). Rawa yang ada kebanyakan merupakan suatu sistem rangkaian yang dihubungkan sungai-sungai kecil (muara) kemudian menyatu dengan sungai besar (way). Sungai besar utama yang menjadi induk tersebut adalah Way Tulang Bawang. Sungai ini merupakan persatuan antara Way Kanan dan Way Kiri yang menyatu di daerah Pagardewa. Baik pada aliran Way Kanan maupun Way Kiri banyak dijumpai situs-situs pemukiman. Situs pemukiman ini ada yang sudah ditinggalkan, ada pula yang terus berlanjut hingga saat sekarang. Pada aliran Way Kanan terdapat situs Batu Putih yang berada di tepi sebelah selatan, pada posisi 424’03” LS dan 10504’ BT (berdasarkan peta topografi lembar 30 daerah Gedongratu). Lokasi ini telah ditinggalkan. Menurut tradisi lisan masyarakat, situs Batu Putih merupakan lokasi pemukiman sebelum pindah ke Gunung Terang (Saptono, 2000: 20). Kampung Gunung Terang berada di sebelah timur dan utara aliran sungai. Dalam tradisi lisan, lokasi Kampung Gunung Terang sebelumnya merupakan perkampungan orang Melayu.

Masyarakat Tulangbawang pada umumnya menyebut lokasi tinggalnya dengan istilah tiyuh atau kampung. Kampung dapat mengalami pemekaran. Anggota masyarakat suatu kampung diperbolehkan membuka hutan untuk tanah garapan. Tanah garapan ini disebut umbulan. Apabila umbulan tersebut cocok untuk lokasi tinggal dan memenuhi berbagai persyaratan adat, maka dapat berkembang menjadi kampung. Sebelum menjadi kampung, umbulan menginduk pada kampung asalnya.


Konsep tiyuh pada masyarakat Tulangbawang dapat disamakan dengan konsep wanua pada masyarakat Austronesia pada umumnya. Wanua, Banua, atau Nua bagi masyarakat Kayuagung, Komering, dan Lampung merujuk pada permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom (Wiryomartono, 1995: 17). Wanua pada masyarakat Jawa Kuna juga merujuk pada permukiman masyarakat setingkat desa yang dipimpin oleh Rama (Sumadio, 1990: 190). Masyarakat penghuni tiyuh biasanya merupakan satu keluarga besar (kebuayan) yang membentuk marga. Masyarakat Gunung Terang membentuk marga Suay Umpu Ilir. Kesatuan marga dipimpin oleh pesirah marga dengan didampingi para penyimbang adat. Struktur organisasi tersebut memperlihatkan sudah ada konsep kepemimpinan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tiyuh sebagai wilayah untuk bertempat tinggal akan memuat masyarakat yang jenjang sosial dan pola kegiatannya berragam.


Kondisi masyarakat seperti ini menunjukkan tingkat peradaban. Menurut Gordon Childe evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Masyarakat hidup secara berpindah-pindah (nomad) bermukim secara sementara pada gua-gua atau tempat tinggal sederhana. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Bermukim secara semi menetap tergantung sumberdaya alam yang tersedia. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum yang telah teratur. Bermukim secara menetap pada suatu lokasi (Childe, 1979: 12-14). Secara fisik, tingkat peradaban manusia sejalan dengan tingkat pemukimannya. Bentuk pemukiman yang sudah maju berupa kawasan di mana sudah dilengkapi bangunan-bangunan baik bersifat pribadi maupun fasilitas umum. Bentuk pemukiman yang dianggap paling maju berupa kota.


Pengertian tentang “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Di dunia Islam jaman pertengahan elemen kota meliputi masjid, pasar, dan tempat mandi publik. Di Eropa terdiri benteng pertahanan, pasar, dan tempat pengadilan (Rapoport, 1986: 22-23). Pada jaman kejayaan kesultanan Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan “kota” apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi serta kadang-kadang juga taman. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan. Pemukiman lama di Kampung Gunung Terang, secara fisik sulit dikatakan sebagai kota. Namun dilihat dari tingkat peradaban masyarakat pendukungnya sudah mencirikan suatu kota. Dengan demikian pemukiman Gunung Terang sudah pantas disebut “kota”.



CERITA SEJARAH LISAN

Sumber sejarah Gunung Terang belum ditemukan. Sejarah mengenai leluhur (moyang) Gunung Terang berupa tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam tradisi lisan tersebut diceritakan bahwa masyarakat Gunung Terang sebelum bermukim di Way Kanan, Tulangbawang, mula-mula bermukim di Way Besai, Sekala Berak. Dari daerah ini kemudian pindah ke Batu Putih, Way Kanan. Ketika itu di seberang sungai sebelah hilir terdapat perkampungan orang Melayu. Karena lokasi Batu Putih dinilai tidak tepat lalu mengekspansi kampung Melayu dan pemukiman pindah ke Kampung Melayu. Sejak itu Batu Putih ditinggalkan. Tokoh Melayu yang dikalahkan adalah Melayu Gelang Besi. Tokoh ini dimasukkan ke kotak lalu dihanyutkan di Way Kanan. Kotak itu ditemukan oleh Ruguk Adipati, penguasa Muara Ruguk.

Mengenai tokoh cikal bakal (moyang asal), diceritakan adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way. Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk Gedung.


Selain tiga anak laki-laki tersebut Minak Sekendar Alam juga mempunyai tiga anak perempuan. Tiga anak perempuan ini tidak diketahui apakah sebagai ayu (kakak perempuan) atau adik ketiga anak laki-laki itu. Seorang anak perempuan menikah dengan orang Bakung Udik, seorang lagi menikah dengan orang Pulau Tabuhan, Teluk Semangka, dan seorang lagi yang bernama Minak Kemalo menikah dengan Pangiran Menang Jagad, Kampung Negara Batin, Way Kanan.


Ketika Minak Kemalo dipersunting Pangiran Menang Jagad meminta sesan (barang bawaan) yang tidak bisa habis. Permintaan Minak Kemalo ini ditujukan kepada saudara laki-lakinya yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Minak Kemalo diberi sesan berupa Muara Buluh di Gunung Terang, Muara Menelapai di Batu Putih, rotan hidup, tiku (mendong), dan bejuku (kura-kura).


Pada generasi itu ada juga moyang di antaranya adalah Minak Riou Galih yang diketahui makamnya di Simpang Kenali, Sekala Berak. Minak Riou Galih menikah dengan ayu Minak Jagad menurunkan Suku Galih. Salah satu anak Minak Riou Galih bernama Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, Gunung Terang. Minak Jagad menurunkan Suku Ruang Tengah. Minak Jagad mempunyai saudara bernama Minak Ngegulung dimakamkan di Umbul Lekou, Rantau Tejang (Tiyuh Toho, Menggala). Minak Ngegulung berada di Menggala dalam rangka membantu Minak Sengaji untuk mempertahankan Menggala. Buay Minak Ngegulung yang bermukim di Menggala membentuk Marga Suay Umpu Ilir, sedangkan buay Minak Jagad menyatu dengan buay moyang-moyang Gunung Terang lainnya membentuk Marga Suay Umpu Udik. Saudara Minak Riou Galih yang belum diketahui namanya dipersunting Prajurit Puting Gelang dari Gunung Katun. Keturunan Prajurit Puting Gelang, Suku Tepuk Gabou, bermukim di Kampung Panaragan.


Pada masa Tuan Riou Terbumi dan moyang-moyang lainnya sebagai moyang unsur Gunung Terang dan Gunung Agung mempunyai kebiasaan memasang bubu (alat penangkap ikan) di kuala Way Tulangbawang. Pada suatu saat ketika melewati Kampung Pagardewa sekarang, ada moyang (apakah Tuan Riou Mangkubumi atau Minak Kemala Bumi/Minak Patih Pejurit) yang menunjukkan kesaktian dengan jalan memotong dan membelah bambu tidak dengan golok tetapi dengan tangan saja. Kerabat Tuan Riou Terbumi berkali-kali mengajak menanggapi kesaktian itu. Tuan Riou Terbumi belum bersedia menanggapi ajakan kerabatnya.


Dalam satu riwayat diceritakan Tuan Riou Terbumi bersaudara ketika berada di Pagardewa (Cakat Menaso) mengeluarkan kesaktian di atas perahu yang ditumpangi. Tuan Riou Terbumi berada di depan sedang Minak Patih Seriou Bumi dan Minak Riou Bumi berada di belakang. Minak Riou Bumi lalu berbalik arah ke hilir dan mereka bertiga saling mendayung perahu berlawanan arah. Perahu akhirnya putus menjadi tiga bagian. Kepala perahu dibawa Tuan Riou Terbumi, bagian tengah dibawa Minak Patih Seriou Bumi, dan bagian belakang dibawa Minak Riou Bumi.


Pada suatu ketika Sesat Watun milik masyarakat Gunung Terang dan Gunung Agung dihancurkan oleh moyang Pagardewa (Tuan Riou Mangkubumi dan Minak Kemala Bumi atau Minak Patih Pejurit) lalu dihanyutkan di Way Kanan. Salah satu tiyang menancap di tebing dan terjadilah Muara Watun di Pagardewa. Moyang-moyang Gunung Terang mengadakan perlawanan. Minak Jagat Kuasa mengeluarkan senjata pedang yang kemudian disebut Pedang Sejalur. Pedang ini sekarang disimpan Bapak Mat Mukhtar, Suku Galih.


Oleh Minak Jagat Kuasa pedang itu dilepaskan saja di Pagardewa. Pedang itu berjalan sendiri melakukan perlawanan. Sedang Minak Jagat Kuasa menunggu di sungai (diperahu). Minak Kemala Bumi meminta kepada Minak Jagat agar memanggil kembali Pedang Sejalur dan menghentikan perang. Kepala orang yang terpotong pedang dimuatkan di perahu yang panjangnya 9 depa. Kepala tersebut dibawa ke Gunung Terang ditempatkan di suatu bawang. Bawang tersebut sekarang bernama Bawang Ngisen (Nisan), yang ditengahnya terdapat tanah memanjang bekas kepala orang-orang Pagardewa. Sampai sekarang pada musim kemarau air Bawang Ngisen berwarna merah darah. Penamaan Pedang Sejalur karena menurut riwayat perahu yang dipakai untuk mengangkut kepala orang-orang Pagardewa bernama Perahu Sejalur, maka pedang itu disebut juga Pedang Sejalur. Dalam mengakhiri peperangan tersebut, Minak Jagat tidak mau kembali ke Gunung Terang bila tidak diberi wanita Pagardewa untuk dipersunting. Hingga sekarang di Pagardewa terdapat keturunan Minak Jagat.


Di wilayah Gunung Terang dan Gunung Agung sampai sekarang akan terdengar suara meriam gaib warisan nenek moyang dari arah Gunung Sri Gandow. Suara meriam tersebut terdengar bila akan terjadi peristiwa yang mengganggu masyarakat di Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung. Gangguan tersebut dalam arti merupakan ulah masyarakat lain. Selain Gunung Sri Gandow juga terdapat Gunung Mengguk. Masyarakat meyakini bahwa di lokasi Gunung Mengguk terdapat kuda emas yang bersifat gaib. Masyarakat sering melihat penampakan kuda emas ini berjalan dari Gunung Mengguk ke Gunung Sri Gandow. Posisi tubuh ketika berjalan selalu rata dengan tanah. Pada saat dilihat sedang mendaki gunung, kaki belakang panjang dengan sendirinya, sedangkan pada saat turun kaki depan yang panjang dengan sendirinya.


Di belakang (selatan) kampung warga transmigran Panca Marga, Satuan Pemukiman I, Menggala B terdapat Gunung Putik (burung). Dalam satu riwayat disebutkan bahwa moyang Gunung Terang mempunyai tunggangan kuda emas dan burung. Berdasarkan riwayat ini masyarakat menduga apakah mungkin Gunung Putik merupakan tempat burung tunggangan. Di dekat Batu Putih terdapat Bawang Loday. Disebut Bawang Loday karena bawang tersebut merupakan tempat nenek moyang memelihara loday (ular besar yang tidak bisa berjalan). Pada jaman dahulu sebelum agama Islam kuat, peliharaan moyang (kuda emas, burung, dan loday) dikeramatkan masyarakat dengan jalan diberi sesaji sebagaimana masyarakat lain. Setelah Islam kuat pelaksanaan sesajen tersebut tidak pernah ada lagi.



Masyarakat menyaksikan kegiatan ekskavasi di Kampung Gunung Terang


LINGKUNGAN PEMUKIMAN GUNUNG TERANG

Sekarang ini, Gunung Terang secara administratif terdiri dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.

Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung.


Pola pemukiman Gunung Terang yang terlihat sekarang sudah menunjukkan pola “kota” terrencana. Prasarana transportasi sebagai akses menuju lokasi berupa sungai dan jalan darat. Jaringan jalan dibuat secara berpotongan tegak lurus sejajar dengan aliran sungai utama. Orientasi rumah tinggal menghadap ke jalan. Pembangunan pemukiman dengan pola “kota” ini mungkin berlangsung pada jaman penjajahan Belanda. Hal ini terlihat dari penyebutan jalan dengan istilah straat. Semula terdapat empat jalur jalan utama yang membujur arah utara – selatan. Sekarang tinggal tiga jalur yang masih utuh. Jalur kedua dari barat (Straat II) pada bagian utara sudah terputus. Struktur kampung lama sulit diamati karena kondisi fisiknya mengalami perkembangan terus menerus hingga sekarang. Berdasarkan sebaran artefak, terlihat bahwa perkampungan lama berada di sebelah utara pelantingan. Selain sebaran artefak juga terdapat beberapa fetur yaitu bekas kampung lama, makam, dan tumulus.


Bekas Kampung
Bekas kampung lama terdiri bekas kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung Terang. Lokasi bekas kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman dekat Lebung Tikak. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali hanya sebaran artefak pada lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2 hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang lama. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat bekas sesat Gunung Terang yang disebut Sesat Watun. Lokasi ini sekarang berupa lahan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Di antara sela-sela rumpun pohon pisang masih dapat dijumpai bekas-bekas fondasi bangunan. Dalam cerita tutur masyarakat, di depan sesat ini pernah terjadi peristiwa peperangan antara Prajurit Puting Gelang dengan prajurit dari Bugis. Pengamatan di sekitar lokasi terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal.

Makam Minak Jagat
Makam Minak Jagat berada di bagian selatan kampung di tengah pemukiman penduduk, tepatnya pada posisi 04o23’41,1” LS dan 105o05’49,7” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Lahan lokasi makam relatif lebih rendah dari pemukiman. Untuk menuju lokasi makam dari jalan desa melalui jalan setapak ke arah timur sejauh sekitar 25 m. Kondisi makam dilengkapi bangunan cungkup. Bangunan ini merupakan bangunan baru yang terakhir direnovasi tahun 2000. Di dalam bangunan cungkup tersebut terdapat empat makam. Makam Minak Jagat adalah makam kedua dari barat. Nisan juga merupakan nisan baru berbentuk silindrik (tipe gada). Ketiga makam yang lain bernisan pipih. Menurut keterangan ketiga makam tersebut adalah makam isteri Minak Jagat.

Makam Minak Patih Seriou Bumi
Makam Minak Patih Seriou Bumi terletak di sebelah barat laut kampung, berada di tepi sebelah timur Way Kanan, tepatnya pada posisi 0423’32,7” LS dan 10505’44,4” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Untuk menuju lokasi makam dari jalan desa melalui jalan setapak sejauh sekitar 100 m. Kondisi makam dilengkapi bangunan cungkup yang merupakan bangunan baru. Di dalam bangunan cungkup hanya terdapat makam Minak Jagat. Keadaan makam sulit dikenali karena hanya berupa hamparan pasir sedikit menggunduk, tidak dilengkapi jirat dan nisan.

Tumulus
Di bagian barat laut kampung, tepi sebelah utara Way Kanan, tepatnya pada posisi 0423’31,8” LS dan 10505’45,4” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) terdapat gundukan tanah (tumulus) yang disebut Cabuh Gelou. Untuk menuju lokasi, dari jalan desa melalui jalan setapak ke arah barat sejauh 50 m. Tumulus tersebut berdiameter 8 m tinggi hingga puncak 2 m. Menurut keterangan masyarakat, tumulus tersebut merupakan kuburan pusaka berupa alat perang bernama Cabuh Gelou (Cabuh = alat untuk menangkap ikan, gelou = gila).


Sket situasi Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung


PERKEMBANGAN STRUKTUR PEMUKIMAN

Menurut cerita sejarah dalam tradisi lisan masyarakat Gunung Terang, pemukiman di Gunung Terang tidak diawali dengan aktifitas membuka hutan. Para moyang menempati wilayah itu dengan jalan mengekspansi masyarakat yang sebelumnya menempatinya yaitu masyarakat Melayu. Bagaimana struktur pemukiman pada awalnya sulit untuk diketahui. Ketika masyarakat Gunung Terang telah menetap di lokasi itu, pembangunan pemukiman dengan melengkapi infrastruktur mulai dilakukan. Secara fisik, pemukiman masyarakat Lampung pada umumnya dikenal adanya jenjang umbulan dan tiyuh (kampung). Umbulan sebetulnya hanya merupakan unsur pemukiman berupa wilayah garapan, yang dapat berkembang menjadi tiyuh. Dalam satu tiyuh terdapat beberapa bagian yang disebut bilik. Pada setiap bilik terdapat tempat kediaman suku. Dalam perkembangannya, pada satu tiyuh akan terdapat rumah kerabat yang disebut nuwou balak atau nuwou menyanak. Selain itu juga terdapat bangunan tempat bermusyawarah para penyimbang adat yang disebut sesat (Troe, 1997: 129). Di Gunung Terang ini diceritakan terdapat sesat yang disebut Sesat Watun. Berdasarkan sisa pondasi yang ada, sesat ini dibangun menghadap sungai ke arah selatan. Masyarakat bermukim di sekitar sesat. Akses keluar masuk kampung dapat melewati pelantingan selanjutnya ke Way Kanan.

Wilayah teritorial Gunung Terang ketika itu dapat diperkirakan seluas wilayah yang dibatasi dengan sungai alam dan sungai modifikasi. Sebagai sungai alam adalah Way Kanan. Sedang sungai modifikasi adalah pelantingan, Way Ngisen, dan Way Pengaliran Darah. Modifikasi terlihat dari adanya pelurusan di beberapa tempat. Pada parit atau sungai yang disebut Pengaliran Darah, tanda adanya modifikasi terlihat pada bagian barat air mengalir ke arah barat, sedangkan pada bagian timur air mengalir ke arah timur. Selain batas berupa sungai, secara magis dibatasi oleh dua makam keramat moyang. Di sebelah barat laut terdapat makam Minak Patih Seriou Bumi dan di sebelah tenggara terdapat makam Minak Jagad. Penempatan makam seperti ini menunjukkan bahwa tokoh Minak Patih Seriou Bumi merupakan tokoh yang lebih utama, karena makamnya berada di sebelah hulu sungai.


Dilihat dari sebaran artefak yang ada, pemanfaatan ruang untuk bermukim hanya pada sekitar sesat. Tidak seluruh wilayah dijadikan pemukiman. Sebagai pemukiman yang berpola over bounded city, wilayah teritorialnya lebih luas dari wilayah pemukiman, perencanaan tata ruang mudah dilakukan perluasan. Satu hal yang diperhatikan adalah konservasi lahan sumber daya (Yunus, 2000: 113). Lahan sumber daya yang terdapat di sekitar kampung Gunung Terang adalah lebung. Pada musim hujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasuki lebung. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional (Djausal, 1996: 3).


Seiring dengan perkembangan populasi, areal pemukiman mengalami perkembangan. Perkembangan pemukiman di Gunung Terang ini tampak melalui perencanaan. Salah satu ciri kota yang berkembang secara direncanakan adalah adanya jaringan jalan yang berpotongan secara tegak lurus (Wertheim, 1959: 147). Sistem perencanaan jalan dengan pola kisi pertama kali dikenal di Mohenjo Daro pada sekitar 2500 SM. Bentuk kota semacam ini kemudian berkembang menjadi pola bastides cities sebagaimana kota-kota benteng. Bagian kota dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang paralel longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku (Yunus, 2000: 150). Sungai alam dan sungai modifikasi di sekitar Gunung Terang selain berfungsi sebagai batas juga sebagai benteng. Sebagaimana lazimnya situs-situs pemukiman di Tulangbawang, jejak adanya benteng tanah di Gunung Terang terlihat dari adanya tumulus yang disebut cabuh gelou. Secara magis pemukiman Gunung Terang juga dibatasi dua gunung keramat yaitu Gunung Sri Gandow di sebelah tenggara dan Gunung Putik di sebelah barat laut.


Pola perkembangan struktur kota memanjang ke arah utara menjadikan pemukiman di Gunung Terang berbentuk empat persegi panjang (rectangular cities). Perkembangan memanjang disebabkan tidak mungkinnya melebar karena adanya hambatan fisikal terhadap perkembangan kota (Yunus, 2000: 115). Hambatan fisikal yang dihadapi Gunung Terang adalah lahan sumber daya berupa lebung di sebelah timur pemukiman dan sungai di sebelah barat dan selatan pemukiman. Perkembangan kota mengikuti bentuk rectangular di Gunung Terang ini berlangsung pada jaman penjajahan Belanda.


SIMPULAN
Pemukiman di Gunung Terang pada mulanya secara fisik sulit dikatakan sebagai kota. Tingkat peradaban yang tumbuh dan berkembang menunjukkan pada jenjang civilization dimana sudah terdapat sistem pemerintahan. Struktur “kota” yang mula-mula berupa pemukiman yang berpusat pada sesat, dikelilingi perumahan penduduk dan secara fisik dibatasi sungai alam dan sungai modifikasi. Selain itu juga terdapat batas yang bersifat sakral berupa makam keramat.

Wilayah teritorial yang lebih luas dari pada pemukiman memudahkan dalam perencanaan perkembangan kota. Meningkatnya populasi dan tersedianya lahan menyebabkan perkembangan pemukiman berjalan secara direncanakan. Struktur kota yang mula-mula sederhana berkembang menjadi pola bastides cities dengan mengikuti bentuk rectangular. Perkembangan menjadi demikian ini karena adanya hambatan fisikal berupa sungai dan lebung.



Daftar Pustaka

Childe, V. Gordon
1979 “The Urban Revolution”. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press. Hal. 12-17.

Djausal Anshori

1996 “Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).

Rapoport, Amos

1986 “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung: Intermedia. Hlm. 21 – 44.

Saptono, Nanang

2000 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi, Pemukiman Masa Islam di Daerah Tulangbawang, Lampung (Tahap II). Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).

Sumadio, Bambang

1990 Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Troe, Adnand (et all.)

1997 Menyelami Tulangbawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Tulangbawang Enterprise.

Wertheim, W.F.

1959 Indonesian Society in Transition, A Study of Social Change. Bandung: Sumur Bandung.

Wiryomartono, A. Bagoes P

1995 Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yunus, Hadi Sabari

2000 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku "Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi", hlm. 42 - 54. Editor: Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat - Banten, 2004.