03 April 2008

Kejayaan Lampung di Masa Lalu

SITUS RATU BALAW SEBAGAI PERMUKIMAN PENAMBANG EMAS


Nanang Saptono



Sari

Sumatera dikenal sebagai Pulau Emas. Penambangan emas sudah dilakukan sejak awal Masehi. Kerajaan Sriwijaya dapat berkembang karena didukung emas. Berdasarkan prasasti yang ada, wilayah kekuasaan Sriwijaya meliputi Lampung. Situs Ratu Balaw mengandung tinggalan arkeologi yang menunjukkan sebagai pemukiman penambang emas. Emas yang ditambang meliputi emas primer dan emas sekunder.



Abstract

Sumatera Island was known as Gold Island. Exploration of gold had been done since early century. Sriwijaya become a great kingdom supported by this gold. Based on several inscriptions, kingdom of Sriwijaya included Lampung area. Archaeological remains point out that Ratu Balaw site was a gold explorer settlement, which includes exploration of primary gold and secondary gold.

Kata kunci: artefak batu, penambangan, emas, primer, sekunder.



Pendahuluan
Kawasan Sumatera sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil emas. Budaya India masuk ke Indonesia disinyalir oleh G. Coedes dilatarbelakangi oleh emas. Hal itu terjadi karena pada sekitar awal Masehi, India kehilangan sumber emas di Siberia. Sebelumnya para kafilah Siberia melalui Baktria memasok emas ke India. Akses ini terputus karena gerakan berbagai bangsa di Asia Tengah. Akibatnya India mencari emas ke daerah lain di antaranya ke daerah sebelah timur India (Coedes, 1968: 20; Sumadio, 1990: 11).

Daerah sebelah timur India yang dikenal sebagai pengahasil emas adalah Suvarnabhumi atau Suwarnadwipa yang artinya pulau emas. Sebutan itu menunjuk pada Pulau Sumatera. Claudius Ptolemaeus menyebut Suwarnadwipa dengan Chryse Chersonesos yang artinya semenanjung emas. Disebut dengan istilah semenanjung emas karena di sepanjang pegunungan Bukit Barisan banyak ditemukan sumber emas (Meulen, 1988: 27 – 37). Situs penambangan emas banyak ditemukan di sepanjang Bukit Barisan mulai dari Bengkulu, Minangkabau, Tapanuli, hingga Aceh (Sartono, 1984: 1). Sisa-sisa aktivitas penambangan emas yang ditemukan berupa batu pelandas besar dan batu penghancur bijih emas. Dalam penambangan juga sudah menggunkan mercury untuk memisahkan bijih emas. Botol keramik Cina masa Dinasti Song – Yuan, sekitar abad ke-12 – 13, tempat mercury sering ditemukan di situs-situs penambangan emas. Tanda sebagai tempat mercury adalah adanya kerak berwarna merah pada bagian dalam (Wahyono, 1999: 29).

Aktivitas penambangan emas secara intensif diperkirakan berlangsung sejak awal Masehi dan berkembang pada masa Sriwijaya. Jauh sebelum berdirinya Sriwijaya, di Sumatera telah terbentuk jaringan komunikasi dan kegiatan lalu lintas, tukar menukar informasi dan bahan pangan dengan frekuensi tinggi (Miksic, 1984: 20). Tingginya aktivitas tukar menukar ini dilatarbelakangi juga oleh emas.

Pada masa Sriwijaya, emas mempunyai peranan penting bagi keberlangsungan kerajaan. Sebagai kerajaan bercorak maritim yang mengutamakan sektor perdagangan, emas merupakan komoditi penting bernilai tinggi. Pada masa itu emas menjadi sumber devisa utama yang harus dijaga keamanan distribusinya dari musuh-musuh raja dan para datu yang ingin menguasainya. Prasasti Telaga Batu memuat informasi tentang sikap keras penguasa Sriwijaya dalam menangani emas dan harta kekayaan lain kerajaan (Rangkuti, 1994: 165). Berdasarkan beberapa prasasti yang pernah ditemukan dapat diketahui bahwa kekuasaan Sriwijaya terbentang meliputi Palembang, Bangka, pedalaman Jambi, dan Lampung. Wilayah kekuasaan Sriwijaya ini dikenal sebagai daerah sumber emas.

Pada masa sesudah Sriwijaya eksplorasi emas masih berlanjut. Tome Pires mengunjungi Sumatera pada sekitar tahun 1512 – 1515 mendapati beberapa kerajaan dan daerah yang banyak memperdagangkan emas. Kerajaan tersebut misalnya Aru, Indragiri, Tungkal, Jambi, Sekampung, dan Tulangbawang (Cortesao, 1967: 146 – 159). William Marsden yang berkunjung ke Minangkabau pada 1771 – 1779 melaporkan tentang adanya aktivitas penambangan emas. Manuel Godinho de Erada yang datang di Sumatera pada 1807 menyaksikan pendulangan emas di Sungai Sunetrat (Sungai Dareh). Dengan mengayak pasir sungai emas sebesar biji-bijian atau sisik ikan bisa didapatkan (Sartono, 1984: 5; Utomo, 1994: 224).

Eksplorasi emas di daerah Lampung tampaknya berlangsung terus hingga masa sesudah Sriwijaya. Situs Ratu Balaw sebagai situs pemukiman, berdasarkan artefak keramik yang ditemukan diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-9 hingga ke-17. Artefak lain yang ditemukan berupa artefak batu banyak tersebar di seluruh area situs. Pada artefak tersebut terdapat jejak-jejak aktivitas penghancuran. Berdasarkan data tersebut dapat diduga bahwa situs Ratu Balaw merupakan pemukiman penambang emas.


Cerita Sejarah Keratuan Balaw
Di dalam Kuntara Raja Niti, yaitu kitab hukum adat Lampung yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman kekuasaan Majapahit di Lampung, disebutkan bahwa di Lampung pernah berdiri lima keratuan yaitu Keratuan Pugung, Keratuan Pemanggilan, Keratuan Dipuncak, Keratuan Balaw, dan Keratuan Darah Putih (Hadikusuma, 1989: 4 – 7). Keratuan Balaw, menurut keterangan Khaldin Balaw (80 th) salah seorang keturunan Ratu Balaw, berdiri sejak sebelum Islam masuk di Lampung, yaitu pada masa Kerajaan Sriwijaya, Tulangbawang, dan Sekala Berak.

Keratuan Balaw didirikan oleh Radin Kunyayan dan istrinya yang bernama Putri Kuning. Radin Kunyayan merupakan keturunan Keratuan Pugung Sekala Berak dari daerah Ranau. Radin Kunyayan setelah mendirikan keratuan, bergelar Ratu Sai Ngaji Saka. Keratuan Balaw mula-mula berada di daerah Krui pada ujung muara Way Balaw Krui. Pada suatu ketika kemudian pindah ke muara Way Balaw yang sekarang termasuk di dalam wilayah Tiyuh Kedamaian (Djubiantono, 2004: 8).

Tradisi lisan mengenai Keratuan Balaw sebagaimana catatan Marwansyah Warganegara berbeda dengan keterangan Khaldin Balaw. Menurut catatan Marwansyah Warganegara (1994: 15 – 16), bersamaan dengan masuknya Islam ke Lampung ada tiga orang dari Kerajaan Pajajaran yaitu Ratu Alangkara, Ratu Mungkuk, dan Ratu Jangkung datang di Lampung. Kedatangan mereka dalam rangka mengejar anak gadisnya yang dilarikan orang Lampung. Kata “mengejar” dalam bahasa Lampung adalah bualaw. Anak gadis yang mereka cari tidak ditemukannya. Karena di Pajajaran sudah beralih ke Islam, mereka tidak mau kembali ke Pajajaran tetapi menetap di sekitar Way Awi, Telukbetung. Mereka mendirikan keratuan yang tetap beragama Hindu. Oleh orang Lampung keratuannya disebut Keratuan Balaw.

Tradisi lisan masyarakat keturunan Keratuan Pugung Sekala Berak juga menyebut keberadaan Keratuan Balaw. Di dalam silsilah mengenai keturunan Bujang Ringkeh disebutkan bahwa Bujang Ringkeh Gelar Karai Handak mempunyai empat anak yaitu Raja Sucungkup Alam, Pangeran Raja Mas Unang Dalom, Sang Nata, dan Putri Bungsu Ratu Liba Haji. Pangeran Raja Mas Unang Dalom mempunyai tiga anak yaitu Penyabungan, Putri Dewi, dan Pangeran Nata Diraja. Putri Dewi dikenal juga dengan nama Sangun Kuning atau Putri Kuning. Radin Kunyayan kemudian menikah dengan Putri Kuning. Setelah menikah kemudian mendirikan Keratuan Balaw (Tim Penelitian, 2006: 15). Dalam tradisi lisan ini, yang disebutkan keturunan Keratuan Pugung adalah Putri Kuning. Radin Kunyayan mungkin juga merupakan keturunan Keratuan Pugung namun bukan berasal dari garis Bujang Ringkeh.

Keterangan Khaldin Balaw (Djubiantono, 2004: 8 – 10) selanjutnya menyatakan bahwa selain Radin Kunyayan juga dikenal beberapa pemimpin pengganti Radin Kunyayan yaitu Ratu Mungkuk, Ratu Jang Kuna, Ratu Pujaran, dan Ratu Lengkara. Ratu Lengkara berkuasa pada sekitar abad ke-16. Suatu ketika Ratu Lengkara diajak Raja Banten berkunjung ke Tumasik (Singapura). Pada saat itu di Keratuan Balaw terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh beberapa putra ratu dari daerah lain untuk memperebutkan putri Ratu Lengkara. Akibat dari peristiwa itu putri Ratu Lengkara dipersunting oleh putra ratu dari Selagai, Lampung Utara dan Minak Patih Pejurit dari Tulang Bawang. Setelah kekacauan tersebut, beberapa keturunan Ratu Balaw berpencar. Ratu Wira Saka (Rulung Balak/Gedung) mendirikan kampung di Way Sulan. Ratu Minangsi mendirikan kampung di Way Handak (Kalianda, Binting Penengahan), Rulung Ketibung bermukim di Tanjungan (Lampung Selatan), dan Rulung Balaw bermukim di Way Kunang.

Pada sekitar abad ke-18 terjadi perpindahan lagi. Keturunan Ratu Wira Saka di Way Sulan pindah ke Tanjung Iman, keturunan Rulung Ketibung mendirikan pemukiman di Tanjung Agung, dan keturunan Rulung Balaw menetap di Tanjung Hening. Pada tahun 1870 atas prakarsa Pangeran Raja Saka, salah satu keturunan Ratu Balaw, keturunan tersebut bersatu mendirikan perkampungan di Tiyuh Kedamaian.

Peristiwa Balaw tidak hanya diceritakan oleh masyarakat keturunan Keratuan Balaw. Tradisi lisan masyarakat Tulangbawang juga mengisahkan peristiwa Balaw. Pada masa Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abdulkadir (1596 – 1651), Minak Kemala Bumi dan Minak Paduka menghadap Sultan Banten untuk menyatakan kedaulatan di bawah Banten (siba). Oleh Sultan Banten, Minak Kemala Bumi diperintahkan untuk mengislamkan Balaw. Pada tahun 1645 Minak Kemala Bumi dibantu klan Abung dan Sungkai menyerang Balaw. Ratu Pujajaran, Ratu Mungkuk, Ratu Jangkung, dan Sangguroh dapat dikalahkan selanjutnya Balaw dapat diislamkan. Puteri Kunang kemudian diperisteri oleh Minak Tumenggung Aji Kagungan, Puteri Balaw diperisteri oleh Minak Kemala Bumi, dan Puteri Kembang Dadar diperisteri oleh Dalom Paksi Buay Menyata Tanjungan (Warganegara, 1975: 13 – 14; Akip, 1976). Minak Kemala Bumi kemudian bergelar Patih Pejurit.

Perkawinan antara Minak Patih Pejurit juga diceritakan oleh tradisi orang Abung. Ketika terjadi perselisihan antar keratuan di Lampung, Minak Paduka, Minak Kemala Bumi, dan seorang kepala lainnya pergi ke Banten menemui Hasanuddin. Mereka mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi dan pemerintahan atas Tulang Bawang. Hasanuddin tidak bersedia selama di Lampung masih ada Raja Balaw. Ketiga penguasa Lampung tersebut kembali ke Lampung dan mengatur siasat akhirnya menyepakati perjanjian bahwa salah seorang putri Balaw dikawinkan dengan Minak Kemala Bumi.

Ketika ada kesempatan baik mereka membunuh Raja Balaw dan mempersembahkan isteri, anak-anak, dan kekayaan Raja Balaw kepada Sunan di Banten. Oleh Sunan Hasanuddin atau yang juga disebut Sunan Sabakingkin, Minak Paduka diberi gelar Patih Jarumbang dan Minak Kemala Bumi diberi gelar Patih Pejurit. Putri Balaw yang diperistri Minak Kemala Bumi atau Patih Pejurit diambil isteri oleh Sunan Sabakingkin. Tetapi tidak lama kemudian dikembalikan lagi kepada Minak Patih Pejurit (Djajadiningrat, 1983: 130). Peristiwa Balaw dalam tradisi Tulangbawang berbeda dengan tradisi Abung. Tradisi Tulangbawang menyebutkan peristiwa terjadi pada masa Sultan Abdulkadir (1596 – 1651) sedangkan tradisi Abung menyebut terjadinya peristiwa pada masa Hasanuddin (1552 – 1580). Proses pindahnya Ratu Balaw menjadi Islam juga terdapat sedikit perbedaan antara tradisi Lampung (Abung dan Tulangbawang) dengan Sajarah Banten. Menurut Sajarah Banten, Ratu Balaw adalah salah seorang penguasa di Lampung yang dengan sukarela masuk Islam. Setelah masuk Islam turut serta membantu Banten dalam rangka menyerang Pakuwan Pajajaran yang masih Hindu (Djajadiningrat, 1983: 130 – 131). Islamisasi Ratu Balaw tidak melalui cara kekerasan tetapi secara sukarela.

Kondisi Lingkungan dan Ragam Tinggalan
Situs Ratu Balaw (Djubiantono, 2004: 13 – 15) secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Kedamaian, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota Bandar Lampung. Secara geografis lokasi situs merupakan ujung pebukitan yang berada dekat pedataran rendah pantai Teluk Lampung. Pada ujung pebukitan terdapat dua aliran sungai yang kemudian menyatu dan bermuara di laut. Lokasi situs berada di antara dua aliran sungai yaitu Way (Sungai) Balaw dan Way Awi atau Way Kedamaian. Way Balaw mengalir di sebelah utara hingga timur situs dan Way Awi mengalir disebelah barat hingga selatan situs. Kedua sungai ini kemudian menyatu di sebelah tenggara situs membentuk aliran Way Lunik. Di sebelah baratlaut situs terdapat Gunung Camang dan di sebelah timur situs terdapat Gunung Pemancar.

Lokasi situs dapat dicapai melalui Dusun Keramat Balaw, kemudian melalui jalan setapak yang menuju ke arah selatan berjarak sekitar 100 m akan sampai di bagian selatan situs. Di lokasi ini pada sebelah kanan jalan setapak terdapat makam Ratu Mungkuk sedang di sebelah kiri jalan setapak terdapat aliran Way Balaw. Ratu Mungkuk adalah salah satu pemimpin Keratuan Balaw. Menurut keterangan kerabat Keratuan Balaw, Ratu Mungkuk meninggal akibat peperangan dengan musuh yang masuk lokasi Keratuan Balaw. Keadaan makam Ratu Mungkuk dikelilingi pagar hidup (tanaman) yang dilengkapi pagar bambu. Makam tidak dilengkapi jirat tetapi terdapat tumpukan batu yang disusun membentuk denah empat persegi panjang agak oval. Lokasi ini berada pada posisi 05°25’29,5” LS dan 105°17’48,1” BT. Di sebelah timur makam Ratu Mungkuk, pada tepi Way Balaw terdapat pohon bambu duri (aur duri) yang dipercaya sebagai sisa-sisa benteng pertahanan Keratuan di Balaw.

Di sebelah selatan lokasi makam Ratu Mungkuk, tanah genting yang diapit Way Balaw dan Way Awi. Masyarakat menyebut bagian ini dengan istilah galah tanoh. Di sebelah timur laut galah tanoh terdapat lahan datar yang luasnya sekitar 16 hektar. Lahan ini merupakan bagian inti situs Keratuan Balaw. Secara alami, lahan dibatasi dua aliran sungai bertebing curam. Salah satu bagian landai terdapat di bagian timur laut lahan pada aliran Way Balaw.

Di bagian timur lahan, tepatnya pada posisi 05°25’39,7” LS dan 105°17’63,2” BT, terdapat petilasan Ratu Lengkara. Kondisi petilasan berupa susunan batu, pecahan keramik, tembikar, dan artefak lainnya membentuk pola persegi panjang agak oval. Petilasan tersebut dilengkapi cungkup tidak berdinding dengan atap seng yang merupakan bangunan baru. Ratu Lengkara adalah salah satu penguasa Keratuan Balaw. Dalam tradisi lisan masyarakat disebutkan bahwa pada suatu ketika Ratu Lengkara diajak Raja Banten mengunjungi Tumasik (Singapura). Sekembalinya dari Tumasik, kondisi Keratuan Balaw porak-poranda. Ratu Lengkara kemudian berpesan kepada pengikut-pengikutnya apabila anak cucu ingin mengenangnya maka di sinilah tempatnya. Ratu Lengkara berpesan sambil menghentakkan kaki pada batu. Sesudah berpesan kemudian menghilang. Pada batu tersebut kemudian terdapat tanda tapak kaki, batu itu sekarang sudah hilang.

Di situs Keratuan Balaw terdapat beberapa tinggalan arkeologis yang ditemukan secara tersebar. Beberapa benda arkeologis yang ditemukan antara lain berupa fragmen tembikar, keramik, manik, mata uang kepeng, artefak batu, artefak logam, dan kerak besi. Selain sebaran artefak, di lokasi ini juga dijumpai adanya tiga batu besar dari jenis andesitik. Mengenai batu tersebut belum dapat diduga apakah merupakan dolmen atau tinggalan arkeologis lain karena belum ditemukan ciri kuat. Selain ketiga batu tersebut di sebelah selatan situs terdapat batu berbentuk panjang dalam keadaan roboh.

Artefak khas dan signifikan yang ditemukan di situs Keratuan Balaw adalah jenis artefak batu berupa pipisan, batu besar dengan salah satu permukaan datar dan halus, serta batu berbentuk kotak. Pipisan banyak ditemukan berupa pecahan, terkumpul di petilasan Ratu Lengkara. Bentuk secara utuh merupakan pipisan berkaki, penampang bagian dataran penghalus berbentuk segi empat memanjang. Pada salah satu sisi lebar berbentuk melengkung, bagian sisi lebar lainnya rata. Secara utuh berukuran kira-kira panjang 30 cm, lebar 15 cm, tinggi 15 cm. Berdasarkan jejak pemakaian yang terdapat pada dataran penghalus menunjukkan dengan cara digilas. Di petilasan Ratu Lengkara juga terdapat bongkah batu berbentuk tidak beraturan dengan salah satu permukaannya halus. Beberapa bongkah batu semacam ini juga ditemukan di lahan situs bagian tenggara. Batu berbentuk kotak memanjang ditemukan tersebar di seluruh lahan situs. Pada seluruh permukaannya halus akibat aktivitas gesekan. Ukuran masing-masing benda tidak sama yaitu panjang antara 3 cm hingga 10 cm, lebar antara 2 cm hingga 5 cm, dan tebal antara 1 cm hingga 2 cm. Artefak batu tersebut kebanyakan dari bahan batuan beku volkanik.



Batu berbentuk kotak memanjang yang ditemukan di situs Ratu Balaw (dok. Balar Bdg)


Penambangan Emas di Keratuan Balaw
Emas sudah dikenal manusia sejak lama, yaitu sejak zaman prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, zaman kolonial Belanda dan Jepang, hingga sekarang. Pada zaman prasejarah artefak emas misalnya berbentuk kedok atau penutup mata yang ditemukan pada situs kubur. Pada uraian beberapa prasasti dari masa klasik, emas sering disebutkan untuk pasek-pasek dalam upacara penetapan sima. Pada zaman Islam hingga kolonial, emas cenderung untuk fungsi profan. Logam berwarna kuning ini berlambang Au, bernomor atom 79, mempunyai berat jenis18,88 hingga 19,4 gram/cm3 (Wahyono, 1999: 26). Emas merupakan salah satu mineral termasuk dalam klasifikasi bahan galian logam subbagian logam mulia. Mineral emas yang penting adalah emas murni, Calaverite, Sylvanit, Krennerite, dan Petzite. Hampir semua mineral emas mengandung perak. Semakin besar kandungan peraknya maka kilapnya lebih putih. Mineral emas terdapat dalam jebakan-jebakan dengan bermacam-macam tipe di dalam batuan beku, sedimen, dan metamorf pada seluruh formasi geologi (Intan, 1993: 357 – 358). Berdasarkan lingkungan pengendapannya emas dibedakan antara emas primer dan emas sekunder atau emas plaser. Emas primer terdapat pada lingkungan pengendapan di mana mineral tersebut terbentuk. Sedangkan emas plaser merupakan mineral emas yang berasal dari batuan yang elevasinya tinggi. Akibat proses pelapukan dan kikisan, mineral tersebut terbawa atau hanyut oleh aliran air hujan ke tempat yang lebih rendah kemudian terkumpul di suatu dataran (Sartono, 1984: 4). Proses lainnya bisa terjadi pada aliran sungai yang memotong lapisan urat bumi mengandung emas. Bijih emas tersebut kemudian terbawa arus dan terendapkan pada kelokan sungai yang arusnya melemah (Intan, 1993: 365). Proses demikian akan menyebabkan terkumpulnya emas di tempat yang datar sehingga penambangan dapat dilakukan secara sederhana dengan cara pendulangan. Proses penambangan emas primer dilakukan dengan cara lebih sukar dan rumit yaitu dengan membuat terowongan, sumuran, penggalian, saluran air, serta berbagai bendungan. Batuan yang mengandung mineral emas kemudian dihancurkan dengan menggunakan lumpang batu (Sartono, 1984: 4).

Lumpang batu untuk menghancurkan batuan yang mengandung mineral emas.
Koleksi Museum Geologi Bandung (Dok. Nanang Saptono)

Penambangan emas di situs Ratu Balaw dapat dimungkinkan karena kondisi geologi daerah Telukbetung dikuasai oleh persesaran dan batuan beku yang berhubungan dengan subduction (lajur penujaman), khususnya batuan gunungapi andesit Tersier dan sejumlah besar granitoid alkalin-kapur. Oleh sebab itu daerah tersebut secara geologis sangat prospektif untuk pemineralan emas epitermal dan yang berhubungan terobosan batuan beku. Emas dilaporkan terdapat di Ranggal (sebelah timur Tanjungkarang) di dalam batuan terkersikan dan terpropilitkan. Peta geologi yang disusun oleh Zwierzycki (1931) menunjukkan bahwa urat-urat bijih emas telah ditemukan dan ditambang oleh Lampung Exploration Company. Urat-urat tersebut terdapat di dalam batuan gunungapi yang terbreksikan dan terubah secara hydrothermal seperti yang terdapat dalam Formasi Tarahan. Menurut Widoro (1988) pembentukan mineral emas tersebut terjadi di dalam batuan metamorfosa (ubahan/malihan) yang terubah kuat di sekeliling stock dasit kecil subvulkanik. Emas primer terdapat juga di dalam urat-urat batuan gunungapi alkalin-kapur dari Formasi Hulusimpang yang terubah secara hydrothermal dan tersingkap di daerah Kampung Babakan Loa, Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan.

Peta topografi lokasi situs Ratu Balaw


Artefak batu yang ditemukan di situs Ratu Balaw berupa bongkah batu dengan salah satu permukaannya halus, batu pipisan, dan batu berbentuk kotak memanjang dalam jumlah banyak mungkin merupakan sisa aktivitas penambangan emas. Beberapa bongkah batu yang salah satu permukaannya halus merupakan sisa peralatan untuk menghancurkan batuan yang mengandung bijih emas. Batuan yang sudah dihancurkan selanjutnya dihaluskan menggunakan batu pipisan dan batu berbentuk kotak memanjang. Batuan yang sudah dihaluskan kemudian baru didulang. Teknik penambangan demikian ini menunjukkan bahwa emas yang ditambang di situs Ratu Balaw merupakan emas primer. Kemungkinan lain yaitu bijih emas yang terdapat pada aliran Way Balaw atau Way Awi langsung didulang. Dengan demikian emas yang ditambang merupakan emas plaser.


Simpulan
Kawasan Sumatera merupakan penghasil emas yang sudah dikenal hingga kawasan Asia sejak zaman Sriwijaya. Wilayah kekuasaan Sriwijaya hingga Lampung berkaitan dengan adanya emas di wilayah itu. Keratuan Balaw yang berdiri sejak zaman Sriwijaya mungkin ada kaitannya pula dengan emas. Berdasarkan ragam tinggalan artefak batu yang ditemukan di situs Ratu Balaw serta kondisi geologis kawasan tersebut, dapat diajukan hipotesis bahwa situs Ratu Balaw merupakan pemukiman penambang emas. Emas yang ditambang berupa emas primer dan emas sekunder (plaser).


Daftar Pustaka

Akip, H. Assa’ih. 1976. Kerajaan Tulangbawang Lampung Sebelum dan Sesudah Islam. Telukbetung: Tanpa nama penerbit.

Coedes, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Edited by Walter F. Vella, translated by Susan Brown Cowing. Kuala Lumpur/Singapore: University of Malaya Press.

Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.

Djubiantono, Tony et all. 2004. Laporan Survei, Pemetaan dan Penggalian Arkeologi di Kawasan Situs Keratuan Balaw, Dusun Keramat Balaw, Kelurahan Kedamaian, Bandar Lampung, Tahap I. Pemerintah Propinsi Lampung, Asdep Urusan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Bandung.

Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.

Intan, Fadhlan S. 1993. “Tinjauan Geologi Pembentukan Mineral Emas”. Dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV: Metalurgi Dalam Arkeologi, hlm. 355 – 368. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Meulen, WJ van der. 1988. Indonesia di Ambang Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Miksic, John N. 1984. “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatra Selatan”. Dalam Berkala Arkeologi V (1) Maret 1984. Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 9 – 24.

Rangkuti, Nurhadi. 1994. “Emas dan Tanah: Kasus Pengelolaan Sumber-sumber Ekonomi di Sumatera dan Jawa Abad VII – X M (Kajian Prasasti Sriwijaya dan Mataram Kuna)”. Dalam Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna. Berkala Arkeologi Tahun XIV. Edisi Khusus, hlm. 163 – 169.Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Sartono, S. 1984. “Emas di Sumatera Kala Purba”. Dalam Amerta 8, hlm. 1 – 16. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang (ed.). 1990. “Zaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia 2. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Awal Situs-situs Keratuan di Propinsi Lampung. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung – Balai Arkeologi Bandung.

Utomo, Bambang Budi. 1994. “Suwarnadwipa Abad XIII – XIV Masehi: Penguasaan Atas Sumber Emas di Hulu Batanghari (Sumatera Barat)”. Dalam Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna. Berkala Arkeologi Tahun XIV. Edisi Khusus, hlm. 221 – 226. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Wahyono, Martowikrido. 1999. “The Gold of the Archipilago”. Dalam Indonesian Gold Treasures from the National Museum Jakarta, hlm. 26 – 33. South Brisbane Queensland: Queensland Art Gallery.

Warganegara, Marwansyah. 1975. Masyarakat dan Adat Budaya Tulang Bawang. (naskah tidak diterbitkan).

------. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah tidak diterbitkan).

Widoro, A.A. 1989. Laporan Kegiatan Penyelidikan KP 164-165-212-215-216 Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Confidential Report. Paragon Group, Jakarta.

Zwierzycki, J. 1931. Geologische kart van Sumatera, schaal 1 : 200.000. Toelichting bijn blad 1 (Teloekbetoeng). Dienst van de Mijnbouw Nederlandsch Indie.

Catatan:
Makalah ini dimuat di buku "Bhakta Astiti". Editor: Dr. Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia - Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2007.

02 April 2008

Lampung pada masa prakolonial

JENJANG PERMUKIMAN DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT LAMPUNG


Nanang Saptono




Sari

Di Lampung sesudah runtuhnya Kerajaan Tulangbawang terbentuk sistem pemerintahan keratuan. Pada masa ini pemukiman masyarakat terpusat pada satu kampung. Pusat pemukiman keratuan dikelilingi beberapa kampung yang lebih kecil. Model pemukiman dikelilingi parit dan benteng tanah yang di dalamnya dilengkapi bangunan suci untuk kepentingan religi. Pada masa kekuasaan kesultanan, di Lampung terdapat pemukiman ketemenggungan yang dipimpin oleh temenggung atau kerio. Kedudukan temenggung atau kerio berada setingkat lebih rendah di bawah sultan. Jenjang di bawahnya adalah permukiman kampung (tiyuh) sebagai permukiman tingkat marga. Di bawah kampung terdapat permukiman yang disebut umbulan.


Abstract

In Lampung after the destruction of Tulangbawang Kingdom are formed the keratuan government system. The settlements are centered in one kampong. The center of keratuan settlements surroundings some little kampongs. This kind of kampongs models are surrounded by trench and fort that made by dirt. That settlement completed by a sacred building for religious used. In Lampung the Ketemenggungan settlement exist in the sultanate period. Temenggung or kerio is the leader of that settlement. Temenggung or kerio is the leader beneath sultan. The level below ketemenggungan settlement is kampong (tiyuh) which is a marga settlement. The lowest settlement in Lampung is umbulan.


Kata kunci: permukiman, keratuan, ketemenggungan, kampung, marga, umbulan.



Pendahuluan
Manusia mengenal permukiman diperkirakan sejak masa mesolitik. Mereka bermukim secara menge¬lompok di tempat-tempat yang keadaan alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir sungai, danau, atau pantai (Soejono, 1992: 155 - 156). Pada masa neolitik, yaitu ketika sudah dikenal bercocok tanam, mulai ada tanda-tanda hidup menetap di suatu perkampungan sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan bersama, mulai diatur dan dibagi antar anggota masyarakat (Soejono, 1992: 167-168). Pada masa ini pun juga merupakan awal dikenalnya suatu sistem organisasi sosial.

Permukiman yang semula hanya sederhana lama-kelamaan berkembang hingga pada keadaan yang mapan (menjadi suatu kota). Perkembangan permukiman hingga menjadi suatu kota seiring dengan perkembangan peradaban manusia pendukungnya. Dapat dikatakan semakin cepat laju evolusi peradaban, semakin cepat pula mapannya suatu pemukiman. Menurut Gordon Childe (1979: 12 - 14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.

Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28 - 30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun clas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian clas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai clas dan tingkatan. Kelompok masyarakat ini terwujud dalam suatu perkotaan.

Pengertian tentang “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Pada kebudayaan yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda telah digunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai kota. Sebagai contoh di dunia hellenistik, suatu tempat dikatakan kota apabila ada elemen-elemen meliputi teater, gimnasium, dan prytaneion. Di dunia Islam jaman pertengahan elemen kota meliputi masjid, pasar, dan tempat mandi publik. Di Eropa pemukiman kota terdiri benteng pertahanan, pasar, dan tempat pengadilan (Rapoport, 1986: 22 - 23). Pada jaman kejayaan kesultanan Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan “kota” apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi serta kadang-kadang juga taman. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan.

Keberadaan kota cenderung dikaitkan dengan kekuatan politis yang sudah mantap. Di nusantara khususnya Jawa banyak prasasti yang memberikan keterangan bahwa negara-negara sebelum Singasari zaman Kertanegara tidak menghasilkan kedaulatan/kekuasaan kerajaan yang mantap. Meskipun pura atau kuta sudah dikenal dalam prasasti sejak abad ke-5, namun penerapan konsep negara dengan pusat kekuasaan yang mantap dan bermasyarakat kota belum tampak sebelum abad ke-14. Sehingga kota pertama di nusantara yang mungkin sudah mempunyai struktur permukiman kota adalah Trowulan, kota Majapahit (Wiryomartono, 1995: 1).

Sebelum zaman Majapahit yaitu sekitar abad ke-8 di kerajaan Mataram kuna sudah terdapat suatu pemukiman berjenjang yang terdiri atas daerah pusat kerajaan, watak, dan wanua. Pada pusat kerajaan yaitu ibukota di mana berdiri istana merupakan tempat Sri Maharaja dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat dekat, para pejabat tinggi kerajaan serta para abdi dalem. Daerah-daerah watak, yaitu daerah yang dikuasai para rakai dan pamgat, serta daerah wanua atau desa yang dipimpin oleh rama (Sumadio, 1990: 190). Konsep tentang wanua di daerah Kayuagung, Komering, dan Lampung mempunyai pengertian sedikit berbeda. Wanua atau Banua atau hanya disebut Nua dalam lingkungan bahasa Austronesia tidak merujuk pada permukiman urban. Wanua lebih dekat pada gagasan mengenai permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom. Kalimat maruwat wanua dalam prasasti Kedukan Bukit dapat diartikan pentasbihan untuk pembinaan desa otonom yang di kemudian hari menjadi daerah utama Sriwijaya. Lebih dekat dengan makna wanua adalah rumah yang perlu peresmian (Wiryomartono, 1995: 17). Di kalangan masyarakat Tulangbawang istilah Nua (dialek setempat menyebutnya Nuwou) mengacu pada satuan pemukiman terkecil yaitu rumah. Satuan pemukiman yang lebih tinggi setingkat wanua disebutnya tiyuh, anek, atau pekon (Troe, 1997: 129). Jenjang pemukiman sebagaimana zaman Kerajaan Mataram Kuna di Jawa sangat dipengaruhi oleh jenjang dalam strata pemerintahan. Kaitan jenjang pemukiman dengan strata dalam pemerintahan berlanjut terus hingga masa Mataram Islam bahkan hingga sekarang.

Di Lampung belum ditemukan indikator adanya pusat kekuatan politis berupa kerajaan sebagaimana Mataram, Majapahit, serta Kesultanan Banten di Jawa atau Sriwijaya, Melayu, serta Kesultanan Palembang di Sumatera. Belum ditemukannya indikator adanya kekuatan politis ini tidak berarti di Lampung tidak mengenal sistem organisasi pemerintahan. Kelompok masyarakat yang menempati suatu tiyuh sudah mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk organisasi masyarakat adat. Dengan adanya sistem organisasi ini diasumsikan terdapat jenjang pemukiman masyarakat Lampung.


Pemerintahan Adat Masyarakat Lampung
Masyarakat Lampung berdasarkan legenda dan bukti-bukti tinggalan arkeologis mula-mula terkonsentrasi di Sekala Berak, yaitu kawasan Pegunungan Bukit Barisan sekitar Danau Ranau, Lampung Barat. Di kawasan ini banyak ditemukan monumen megalitik berupa kompleks dolmen dan menhir pada areal yang dibatasi parit dan benteng tanah. Diperkirakan, karena tekanan perkembangan populasi yang kuat menyebabkan terjadi migrasi ke seluruh Lampung. Olivier Sevin (1989: 49 – 69) memperkirakan sebagai masyarakat asli Lampung adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung. Pada sekitar abad ke-17 hingga ke-19 terjadi gelombang migrasi dari luar memasuki Lampung. Pada sekitar abad ke-17 terjadi gelombang migrasi dari Banten. Selanjutnya pada abad ke-19 terjadi kolonisasi dari Jawa. Menurut tradisi sejarah lisan, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).

Masyarakat Lampung sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Buddha) sudah mengenal semacam pemerintahan demokratis dengan bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah kerajaan Tulangbawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya.

Ketika Banten memasuki Lampung pada tahun 1530, daerah Lampung terbagi dalam wilayah keratuan (persekutuan hukum adat) yang terdiri Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulangbawang, Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering, Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian, serta Keratuan di Balau menguasai wilayah sekitar Teluk Betung. Ketika Banten berpengaruh kuat di Lampung, Keratuan di Pugung terbagi lagi dan berdiri Keratuan Maringgai (Melinting) dan Keratuan Darah Putih (Kalianda). Dengan demikian setelah punahnya Kerajaan Tulangbawang di Lampung tidak dikenal adanya pemerintahan dalam bentuk kerajaan tetapi yang berkembang adalah sistem pemerintahan demokratis dalam bentuk keratuan (Soebing, 1988: 35).

Gambaran perkiraan wilayah keratuan-keratuan di Lampung

Pada sekitar abad ke-17 – 18 keratuan tersebut membentuk pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku (Hadikusuma, 1989: 157). Sistem pemerintahan marga di Sumatera diciptakan oleh Kesultanan Palembang dalam rangka upaya menguasai kehidupan politik dan perekonomian daerah-daerah yang berada di bawahnya (Mintosih, 1993: 42 – 45). Sistem pemerintahan marga cenderung lebih birokratis untuk kepentingan kehidupan sosial politik yang lebih besar dan kompleks. Berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional seperti keratuan di Lampung, pemerintahan marga merupakan bagian dari sistem pemerintahan otoriter di mana para pemimpinnya dipilih dan diangkat secara rasional (tidak secara turun temurun) oleh pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Pembentukan marga mengacu pada Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).

Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga, Kerangga, atau Tumenggung. Wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa. Pada tahun 1826 sistem pemerintahan marga diambil alih pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itu dalam struktur pemerintahan, marga berada di bawah dan tunduk kepada kekuasaan Residen.

Perubahan kekuasaan di tangan kolonial Belanda tidak banyak merubah sistem pemerintahan adat masyarakat lampung. Pada tahun 1873, Belanda menetapkan Karesidenan Lampung dibagi dalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan). Pada tahun 1928, Belanda menetapkan Ordonansi yang disebut Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (Pasirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga. Ketika Jepang berkuasa seluruh sistem adat tidak berjalan.

Memasuki masa pemerintahan RI, pada tahun 1947 sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Pada tahun 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatra Barat. Sistem nagari akhirnya tidak dapat berkembang dan akhirnya lenyap. Selanjutnya sistem pemerintahan mengikuti peraturan yang berlaku hingga sekarang (Yudha, 1996: 4 – 6). Seiring dengan lenyapnya lembaga nagari, sistem marga hidup kembali, namun tidak punya kewenangan kekuasaan untuk mengatur pemerintahan. Sistem pemerintahan marga berlangsung hingga tahun 1976. Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sitem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.


Beberapa Situs Dalam Jenjang Pemukiman

Ibukota Keratuan
Masyarakat Lampung sejak sebelum ada pengaruh kekuatan politik besar dari luar sudah mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk keratuan. Berdasarkan tradisi lisan dan peninggalan arkeologis yang ada, sistem pemerintahan keratuan berlangsung mulai akhir masa prasejarah. Pembentukan keratuan salah satunya dipengaruhi oleh tekanan pertumbuhan penduduk yang pada waktu itu terjadi di kawasan Sekala Berak. Beberapa tinggalan arkeologis di kawasan Sekala Berak yang berupa monumen megalitik merupakan bukti kuat sudah dikenalnya sistem kepemimpinan. Pada mulanya setidak-tidaknya terdapat empat keratuan yaitu Keratuan di Puncak, Keratuan Pemanggilan, Keratuan di Pugung, serta Keratuan di Balau. Berdasarkan tradisi lisan dikisahkan bahwa sistem pemerintahan keratuan cenderung bersifat egaliter. Pemimpin merupakan seorang yang kharismatik, terpilih secara spontan karena kelebihan yang dimilikinya.

Institusi keratuan menunjukkan ciri masyarakat chiefdom yang sudah lebih maju dari pada masyarakat egaliter karena sudah mengenal sistem pemerintahan. Masyarakat demikian ini merupakan masyarakat early state yang sudah mengenal hukum walaupun aturan-aturan yang dikenalnya merupakan otoritas mutlak pemimpinnya. Masyarakat demikian biasanya dalam satu kerabat. Pertanian adalah matapencaharian utama dengan ditunjang usaha kerajinan. Pada pusat pemukiman terdapat bangunan induk bersifat komunal. Biasanya juga dilengkapi bangunan suci untuk sarana religi. Tempat tinggal penguasa juga berfungsi sebagai pusat administrasi birokrasi. Sebagai ibukota, pemukiman ini dikelilingi beberapa kampung-kampung yang lebih kecil (Renfrew & Bahn, 1991: 156 – 157).

Berdasarkan tradisi sejarah lisan, paling tidak terdapat dua lokasi pemukiman masyarakat sebagai ibukota keratuan yaitu Canguk Gaccak sebagai ibukota Keratuan di Puncak (Warganegara, 1994: 6) dan Pugung sebagai ibukota Keratuan di Pugung yang dipimpin Ratu Galuh (Melinting, 1988: 14).
Situs Canguk Gaccak berada di Kampung Sekipi, Kecamatan Abung Tinggi, Lampung Utara (Tim Penelitian, 2006). Situs Canguk Gaccak berada di tepi Way Abung, yang merupakan anak Way Rarem. Di sebelah utara sungai terdapat lahan yang dibatasi sungai alam serta parit dan benteng tanah buatan. Parit dan benteng tanah berada di bagian timur, melintang dengan orientasi utara – selatan menghubungkan dua aliran sungai. Di bagian dalam lahan terdapat kompleks dolmen, batu melingkar (stone enclouser), dan menhir terdiri dua belas kelompok.




Pada lahan yang berada di sebelah selatan sungai terdapat kompleks makam terdiri dua kelompok. Kelompok makam pertama berada pada lahan di tepi sawah. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Minak Raja Di Lawuk, berada di bagian paling timur. Kondisi makam yang terlihat sekarang tidak dilengkapi jirat. Batas makam berupa jajaran batu andesitik. Nisan makam merupakan tipe Aceh berbentuk gada dari bahan batuan granodiorit. Di bagian paling barat terdapat makam Paksi Tuan Guru. Tokoh ini merupakan keturunan Minak Trio Diso.

Kelompok makam kedua berada di sebelah barat kelompok makam pertama. Kelompok makam berada pada lahan setinggi sekitar 3 m dari permukaan lahan sawah. Pada tangga masuk sebelah timur menuju makam terdapat batu berdiameter sekitar 25 cm. Batu tersebut merupakan lambang kepala Minak Raja Di Lawuk, yang harus diinjak oleh keturunan Minak Trio Diso ketika akan berziarah. Pada kompleks makam terdapat tiga makam. Makam paling timur merupakan makam Minak Dara Putih atau Hyang Mudo, makam yang ditengah merupakan makam Minak Trio Diso, dan yang di utara adalah makam Syekh Abdurrahman.

Cerita rakyat daerah Lampung tentang Kisah Betan Subing menyebutkan bahwa Minak Raja Di Lawuk adalah tokoh yang berhasil mengalahkan Datu Di Puncak. Minak Raja Di Lawuk kemudian dikalahkan oleh Betan Subing, salah satu anak Datu Di Puncak. Untuk mengembalikan kehormatan Datu Di Puncak, kepala Minak Raja Di Lawuk dikubur di tengah jalan yang dilalui orang jika akan ke makam Datu Di Puncak, yaitu antara tepi sungai dengan makam Datu Di Puncak (Imron dan Iskandarsyah, 2002: 20 - 46). Apabila mengacu pada cerita ini maka tokoh utama yang dimakamkan di kompleks ini adalah Datu Di Puncak.

Di sebelah tenggara kompleks makam Minak Trio Diso berjarak sekitar 300 m terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Rimba Bekasan. Di atas bukit terdapat lahan seluas sekitar 1 ha yang dikelilingi parit dan sungai. Parit di sisi timur lebarnya sekitar 50 cm. Parit di sisi selatan lebarnya sekitar 10 m dengan kedalaman sekitar 6 m. Sisi barat dan utara merupakan aliran sungai Pasuut yang merupakan anak Way Abung.

Pada lahan yang dikelilingi parit dan sungai, terdapat makam keramat berorientasi barat laut – tenggara. Tokoh yang dimakamkan terdiri dari Minak Dara Putih (barat daya), Rendang Sedayu (tengah), dan Minak Munggah Di Abung (timur laut). Rendang Sedayu dikenal sebagai salah satu isteri Minak Trio Diso. Tokoh ini juga dikenal dengan sebutan Raja Lemaung. Ketiga makam tersebut tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai penanda makam berbentuk pipih dan beberapa kumpulan batu.

Selain Canguk Gaccak, ibukota keratuan yang disebutkan dalam cerita rakyat adalah Pugung. Sebutan Pugung sekarang dikenal dengan nama Pugungraharjo. Situs Pugungraharjo secara administratif termasuk wilayah Desa Pugungraharjo, Kecamatan Jabung. Situs Pugungraharjo menempati areal seluas kurang lebih 30 ha. Di sebelah selatan situs terdapat aliran Way Pugung yang menjadi batas situs. Way Pugung merupakan anak Way Sekampung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Lebar benteng tanah sekitar 5 m, sedangkan tingginya 2 – 3 m. Di bagian luar benteng terdapat parit yang lebarnya 3 – 5 m. Di beberapa tempat pada benteng terdapat jalan masuk. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama berada pada bagian paling barat. Sisi utara bagian pertama ini dibatasi benteng tanah yang membujur arah barat daya - timur laut kemudian berbelok ke arah tenggara. Benteng tersebut kemudian berbelok lagi ke arah selatan sampai pertemuan dengan sungai. Bagian kedua situs terdapat di sebelah timur bagian pertama. Bagian kedua ini juga dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur arah barat - timur. Benteng tanah tersebut kemudian berbelok ke selatan. Bagian ketiga dari areal situs tersebut terdapat di bagian paling timur. Bagian ini tidak dibatasi oleh adanya benteng tanah.

Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugungraharjo terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang membentuk denah segi empat. Pada salah satu menhir terdapat pahatan yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedangkan pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Susunan menhir dan batu altar ini disebut dengan kompleks Batu Mayat. Di sebelah timur dan selatan kompleks batu mayat terdapat punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian paling timur dari situs Pugungraharjo berupa batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Salah satu punden berundak yang terdapat di bagian ini merupakan punden terbesar. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar tersebut terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan arca tokoh laki-laki duduk bersila dalam sikap vajrasana. Sikap tangan digambarkan dengan kedua telapak berada di depan dada, telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan lainnya dilipat. Sikap tangan seperti ini tidak lazim dalam ikonografi tetapi mendekati sikap naivedyamudra yang biasa dijumpai pada aliran tantris (Soekatno, 1985: 165 – 166).

Punden terbesar di situs Pugungraharjo dikenal dengan nama Punden VI. Punden VI berdenah bujur sangkar berukuran 12 x 12 m, dengan ketinggian sekitar 7 m. Punden ini terdiri dari 3 teras yang makin ke atas makin kecil ukurannya. Batas antara masing-masing teras diperkuat dengan batu-batu kali. Di sekeliling punden terdapat parit kecil. Pada bagian tengah keempat sisi punden terdapat jalan masuk dengan lebar sekitar 2 m. Jalan masuk ini menjorok keluar dan hanya sampai pada teras yang pertama. Di sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat batu yang diletakkan menyerupai makara.


Punden berundak di situs Pugungraharjo (dok. Balar Bandung, 2005)


Selain punden di kompleks situs ini terdapat mata air Pugungraharjo. Pada mata air tersebut terdapat beberapa bentuk tinggalan budaya megalitik yang lain seperti batu bergores, batu lumpang, dan batu berlubang. Batu berlubang keseluruhannya berjumlah 19 buah. Selain di sumber mata air, tinggalan-tinggalan serupa juga ditemukan di aliran sungai kecil yang terdapat pada bagian selatan situs. Di lokasi ini terdapat 4 batu bergores. Bentuk goresan berupa garis-garis dengan lekukan sebesar jari namun jelas menunjukkan hasil aktifitas manusia (Triwuryani, 1998).

Canguk Gaccak dan Pugungraharjo sebagai ibukota keratuan memiliki pola yang sama. Pada areal pemukiman terdapat bangunan suci untuk sarana religi. Beberapa bangunan seperti dolmen dan menhir ditemukan pada kedua situs. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang religi kedua masyarakat pendukungnya adalah tradisi megalitik. Perkembangan religi yang terjadi di Canguk Gaccak dan Pugungraharjo terdapat perbedaan. Indikator berupa makam Islam di Canguk Gaccak menunjukkan bahwa tradisi megalitik berkembang ke tradisi Islam, sedangkan di Pugungraharjo terlihat ada proses perkembangan tradisi Hindu-Buddha.

Secara teoritis di sekitar pemukiman ibukota keratuan terdapat beberapa kampung yang lebih kecil. Di sekitar Canguk Gaccak tidak ditemukan adanya situs pemukiman yang lebih kecil. Tidak adanya pemukiman di sekitar Canguk Gaccak memberikan gambaran bahwa pemukiman ketika itu berpusat dan terkumpul di Canguk Gaccak. Cerita rakyat juga memberi gambaran bahwa pola pemukiman di Canguk Gaccak secara mengelompok. Di Canguk Gaccak terdapat beberapa kelompok keturunan seperti Buay Nunyai, Buay Unyi, Buay Subing, Buay Nuban, Buay Beliyuk dan beberapa buay lainnya yang bermukim secara bersama-sama di Canguk Gaccak. Pada masa-masa selanjutnya keturunan-keturunan itu membentuk klan Abung Siwo Migo yang terdiri sembilan marga (Warganegara, 1994: 8). Pemukiman masing-masing marga dari klan Abung tersebut tidak lagi di Canguk Gaccak.

Pugungraharjo sebagai ibukota keratuan ada kecenderungan mempunyai pemukiman lebih kecil yang ada di sekitarnya. Di sepanjang Way Sekampung terdapat beberapa situs dalam ukuran yang lebih kecil, mempunyai ciri budaya yang hampir sama yaitu megalitik. Situs-situs tersebut misalnya situs Jabung, Negarasaka, dan situs Meris.

Situs Jabung berupa benteng berbentuk segiempat panjang berukuran 118 x 150 meter. Susunan benteng terdiri dari parit (di luar) dan tanah bergunduk di bagian dalam. Jalan masuk benteng berada di sisi barat, utara, dan timur. Di dalam benteng, terdapat tinggalan dua susunan batu berurut dengan orientasi baratlaut-tenggara. Pada ujung batu berurut ini, di bagian tengah halaman, terdapat menhir berbentuk phallus seperti yang terdapat di kompleks batu mayat (Pugungraharjo). Di luar kompleks benteng, sebelah timur dan selatan terdapat gundukan tanah yang oleh masyarakat setempat dikatakan sebagai tempat pemakaman. Temuan lain adalah susunan batu membentuk pola tertentu yang disebut batu kandang. Pada bagian barat daya terdapat gundukan tanah yang tingginya mencapai 7 meter (Indraningsih, 1985: 8 – 9).

Situs Negarasaka merupakan kompleks megalitik yang terletak sekitar 350 m di sebelah barat situs Jabung. Di kompleks ini terdapat benteng seperti di kompleks Jabung dan Pugungraharjo. Struktur benteng terdiri dari gundukan tanah di luar parit bagian dalam, dan menyusul tanah gunduk di bagian paling dalam. Temuan terpenting dari kompleks ini adalah empat batu datar yang oleh penduduk dinamakan batu kursi, diatur berjajar membujur arah utara – selatan. Pada bagian bawah batu datar terdapat batu penyangga. Peninggalan megalitik ini berada di bagian bagian utara kompleks benteng (Indraningsih, 1985: 9).

Situs Meris berupa benteng tanah yang dikelilingi parit. Denah situs tidak beraturan terdiri satu halaman dengan luas sekitar 4,2 ha. Pada bagian dalam terdapat punden persegi yang hampir rata dengan tanah dengan sebaran batu-batu. Dilihat dari pola sebarannya, mungkin batu-batu tersebut merupakan makam dari masa Islam dengan orientasi utara – selatan. Selain itu di bagian barat terdapat sebaran batu besar seperti dolmen yang mempunyai seperti bentuk batu kandang. Pada bagian luar dua punden berundak (Triwuryani, 1998: 10 – 11).

Berdasarkan uraian perbandingan beberapa situs tersebut terdapat gambaran bahwa pada masa keratuan, pusat pemukiman berada pada anak sungai utama. Besaran situs lebih luas dari pada pemukiman pendukungnya. Di dalam pemukiman tersebut terdapat bangunan suci sebagai sarana aktifitas religi. Pada kasus Canguk Gaccak dan Pugungraharjo berupa bangunan megalitik.


Pemukiman Masa Pemerintahan Marga
Pada masa sistem pemerintahan marga berlaku di Lampung terdapat jenjang pemukiman Ketemenggungan yang membawahi beberapa kampung. Pemukiman Ketemenggungan dijumpai pada situs Benteng Minak Temenggung. Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten. Selain tokoh Minak Temenggung, ada tokoh lainnya yaitu Minak Kerenggo. Tokoh ini merupakan penguasa benteng di sebarang sungai, sebelah timur Way Tulangbawang. Makamnya berada di Umbulan Tebing Suloh tepi sebelah barat Way Tulangbawang.

Situs Benteng Minak Temenggung berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan. Secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Penumangan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Tulangbawang. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Benteng terdiri dari dua gundukan tanah mengapit parit. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon. Kawasan ini merupakan bagian paling hulu Way Tulangbawang, di sebelah hilinya merupakan pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri.

Pada bagian utara, antara kawasan benteng dan Way Tulangbawang terdapat makam Minak Temenggung dan Bawang Pukem. Makam Minak Temenggung berada di sebelah timur benteng. Di sebelah timur makam terdapat Bawang Pukem yang merupakan danau tapal kuda. Pada ujung utara benteng terdapat semacam sungai semusim yang berakhir di Bawang Pukem (Saptono, 2001: 19 – 20).

Berdasarkan keterkaitan antara situs Benteng Minak Temenggung dengan sistem pemerintahan marga terlihat bahwa situs tersebut merupakan pusat pemerintahan tertinggi di kawasan Lampung. Di tempat lain tidak pernah ditemukan adanya situs yang berkaitan dengan tokoh Temenggung atau Kerengga. Tokoh ini merupakan pejabat di bawah Sultan. Pemerintahan marga menurut Undang-undang Simbur Cahaya akan berkaitan erat dengan Kesultanan Palembang. Ketika Banten menguasai Lampung, mungkin sistem pemerintahan yang sudah berjalan tetap dipertahankan. Dengan demikian baik pada masa Kesultanan Palembang atau Kesultanan Banten pemukiman tersebut merupakan pusat pemerintahan Ketemenggungan, yaitu pemukiman pusat pemerintahan setingkat di bawah ibukota kesultanan.

Secara geografis lokasi situs Benteng Minak Temenggung yang berada pada bagian hilir pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri sangat strategis. Penempatan pada pertemuan dua sungai besar akan memudahkan dalam pola pertukaran yang bermanfaat bagi perkembangan pemukiman dan institusi pemerintahan itu sendiri. Pertukaran yang terjadi baik berupa pertukaran barang maupun informasi. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991: 310) serta Bugie Kusumohartono (1995: 105) mengacu pada Karl Polanyi menyatakan terdapat tiga model pertukaran yaitu reciprocity (timbal balik), redistribution (pembagian kembali), dan market exchange (pertukaran pasar). Pertukaran reciprocity adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribution berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Sedangkan model market exchange, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya. Pemukiman di situs Benteng Minak Temenggung akan memainkan ketiga model pertukaran tersebut.

Dilihat dari aspek keletakan geografisnya tergambar pola hubungan fungsional dendritic model Bronson. Model ini menggambarkan pola pemukiman mengikuti aliran sungai, dan membentuk sistem jaringan pertukaran barang model market exchange. Menurut asumsi Bennet Bronson, di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Di wilayah hulu, pada muara di mana sungai induk dimasuki dan ditemui anak sungai, akan ditemukan permukiman tingkat dua dan selanjutnya tingkat tiga. Di daerah paling hulu, di atas bentangan sungai terakhir yang dapat dilalui dengan alat angkutan air, akan ditemukan kelompok peramu yang bermatapencaharian mengumpulkan hasil hutan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui permukiman tingkat tiga dan dua yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara (Miksic, 1984: 10). Dihubungkan dengan pola pertukaran model market exchange dan pola dendritic model Bronson, tampak bahwa kawasan Benteng Minak Temenggung berperan sebagai pusat perdagangan yang menghubungkan antara kawasan pedalaman dengan daerah luar.

Jenjang di bawah pemukiman Ketemenggungan adalah kampung atau menurut istilah Lampung adalah tiyuh. Pada sepanjang sungai besar banyak dijumpai situs-situs pemukiman yang merupakan pemukiman tingkat marga. Situs-situs tersebut misalnya situs Benteng Sabut di aliran Way Kiri dan situs Batu Putih di aliran Way Kanan.

Situs Benteng Sabut berada di Kampung Gunungkatun, Kecamatan Tulang Bawang Udik (Saptono, 2002: 88 – 89). Secara geografis berada pada barat laut kelokan Way Kiri. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai tersebut kemudian membelok ke arah timur dan bermuara di Way Kiri. Fetur benteng berupa cekungan (parit) dan gundukan tanah. Pada sisi utara terdapat cekungan memanjang dengan arah timur barat, bermula dari Way Kiri dan berakhir hingga Way Pikuk. Lebar cekungan sekitar 2 m dengan kedalaman bervariasi antara 0,5 – 1 m. Di sebelah selatan cekungan tersebut, berjarak sekitar 50 m terdapat benteng parit berdenah segi empat.

Parit sisi utara bermula dari Way Kiri ke arah barat sepanjang sekitar 100 m. Pada pertengahan terdapat bagian yang tidak digali dengan lebar sekitar 4 m. Parit sisi barat merupakan kelanjutan sisi utara. Parit membujur arah utara - selatan sepanjang sekitar 75 m. Parit sisi barat kemudian berbelok ke arah timur dan berakhir di Way Kiri. Parit sisi selatan ini sudah tidak begitu dalam, lebarnya juga susah dikenali lagi. Pada sisi timur merupakan aliran Way Kiri. Di sebelah selatan benteng parit terdapat makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Menak Sendang Belawan.

Situs Batu Putih berada di wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang (Saptono, 2006: 94). Situs berada di tepi sebelah selatan Way Kanan. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi. Dengan adanya tanggul alam ini lokasi situs Batu Putih merupakan dataran limpah banjir yang sangat subur.

Pada bagian barat daya, di atas tanggul alam, terdapat makam Menak Pangeran Buay Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di sekitar makam Menak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak.

Pemukiman di situs Benteng Sabut dibatasi parit dan benteng tanah, sedang di Batu Putih tidak dijumpai adanya parit dan benteng tanah, tetapi dibatasi sungai alam dan tanggul alam. Unsur yang sama dijumpai di kedua situs tersebut adalah makam tokoh utama. Adanya makam tokoh utama menggambarkan adanya perubahan dalam sistem religi masa pra-Islam yang ditandai dengan bangunan megalitik dengan masa Islam yang ditandai dengan makam tokoh utama. Secara substansial sistem religi yang berlangsung tetap sama yaitu unsur pemujaan kepada arwah leluhur.

Masyarakat yang tinggal dalam satu kampung mempunyai tanah garapan (ladang) yang disebut dengan istilah umbulan. Selama masa pengerjaan ladang mereka bermukim di lokasi itu. Permukiman yang ada pada umbulan cenderung bersifat sementara. Masyarakat Bandardewa di Tulangbawang mempunyai umbulan di Bakung Nyelai dan Jung Belabuh (Tim Penelitian, 2007: 19 – 21). Situs Bakung Nyelai berada di tepi Way Bakung Nyelai. Sungai ini merupakan anak Way Tulangbawang. Indikator aktivitas manusia pada masa lampau berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, kaca, serta kerak besi. Sebaran artefak berada pada lahan seluas sekitar 3.600 m2. Situs Jung Belabuh berada di tepi Tulung Kalutum yang merupakan anak Way Miring. Luas situs sekitar 5 hektar, dibatasi benteng tanah dan parit. Umbulan ini sebelumnya adalah kampung Bandar Dewa, karena kondisinya tidak dapat berfungsi maksimal, maka masyarakat pindah ke kampung Bandar Dewa sekarang. Lokasi ini kemudian dijadikan umbulan. Di lokasi situs terdapat sebaran keramik dan tembikar dalam areal seluas sekitar 1.600 m2. Dilihat dari kedua situs umbulan tersebut, tergambar bahwa umbulan berada pada tepi anak sungai. Areal yang dihuni tidak terlalu luas. Meskipun umbulan hanya merupakan permukiman sementara, berdasarkan artefak yang ada menunjukkan adanya aktivitas beragam.


Simpulan
Masyarakat Lampung secara tradisional memiliki sistem pemerintahan sendiri yang disebut keratuan. Sistem pemerintahan ini diperkirakan berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Tulangbawang atau pada masa Kerajaan Sriwijaya. Ketika Kesultanan Palembang menguasai sebagian besar Sumatera terbentuk sistem pemerintahan marga. Di Lampung sistem marga tetap berlangsung hingga masa kekuasaan Kesultanan Banten.

Pada masa pemerintahan keratuan pusat pemukiman cenderung berada di tepi anak sungai sedangkan desa yang merupakan pemukiman lebih kecil berada di tepian sungai besar. Model pemukiman ibukota keratuan dikelilingi benteng tanah dan parit. Pada pemukiman tersebut dilengkapi bangunan suci untuk kepentingan religi.

Pada sistem pemerintahan marga terdapat pemukiman ketemenggungan dan desa. Ketemenggungan merupakan pusat pemerintahan setingkat di bawah kesultanan. Di Lampung pemukiman ketemenggungan terdapat di hulu Way Tulangbawang. Pemukiman itu disebut Benteng Minak Temenggung. Keberadaan pada hulu sungai besar dekat dengan pertemuan dua sungai sangat strategis karena menunjang pola distribusi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemukiman tersebut.

Pada sepanjang sungai besar yang berada di wilayah hulu ketemenggungan dijumpai kampung-kampung sebagai pemukiman setingkat marga. Kampung tersebut dibatasi benteng tanah dan parit atau sungai alam. Unsur penting dalam pemukiman marga adalah makam tokoh utama. Keberadaan makam tokoh utama untuk memenuhi fungsi religi yang secara substansial berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhur.

Umbulan sebagai permukiman terkecil biasanya berada di tepi anak sungai. Areal umbulan ada yang dibatasi benteng tanah dan parit, ada pula yang tidak berbenteng. Berdasarkan artefak yang terdeposisikan di situs umbulan, aktivitas masyarakat penghuninya juga berragam.


Daftar Pustaka

Alf, Achjarani. 1954. Ngeberengoh “Sedar”. Tanjungkarang.

Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus, hlm. 12 – 17. Durham: Carolina Academic Press.

Flannery, Kent V. 1979. The Cultural Evolution of Civilizations. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus, hlm. 26 – 32. Durham: Carolina Academic Press.

Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.

Imron dan Iskandarsyah. 2002. Cerita Rakyat Daerah Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung.

Indraningsih, J. Ratna et al. 1985. Laporan Penelitian Arkeologi di Lampung. Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kusumohartono, Bugie. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi, Tahun XV, Edisi Khusus, 1995, hlm 105 – 110. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Melinting, Dalom Ratu. 1988. Adat Istiadat Lampung Melinting. Metro: Atlantik.

Miksic, John N. 1984. Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatra Selatan. Dalam Berkala Arkeologi V (1) Maret 1984, hlm. 9 – 24. Balai Arkeologi Yogyakarta.

Mintosih, Sri (et. al.) 1993. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rapoport, Amos. 1986. “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan, hlm. 21 – 44. Bandung: Intermedia.

Renfrew, Colin and Paul Bahn. 1991. Archaeology: Theories, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.

Saptono, Nanang. 2001. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Ragam Aktifitas dan Rancang Bangun Benteng di Daerah Tulangbawang, Propinsi Lampung. Balai Arkeologi Bandung.

----------. 2002. Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol. Dalam Agus Aris Munandar (ed). Jelajah Masa Lalu, hlm. 86 – 101. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

----------. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih, Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed). Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen Transmigrasi Republik Indonesia.

Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.

Soejono, R.P. (ed.). 1992. Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Soekatno, Endang Sh. 1985. Catatan Tentang Arca dari Masa Klasik dari Pugungraharjo, Lampung. Dalam Rapat EvaluasiHasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Awal Situs-situs Keratuan di Propinsi Lampung. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung – Balai Arkeologi Bandung.

Tim Penelitian. 2007. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi Permukiman Situs Bakung Nyelai dan Situs Jung Belabuh, Tulangbawang Tengah, Lampung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Triwuryani, RR. 1998. “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).

Troe, Adnand (et all.). 1997. Menyelami Tulangbawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Tulangbawang Enterprise.

Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah tidak diterbitkan).

Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yudha, Ahmad Kesuma. 1995. Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).



Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di Buku "Permukiman, Lingkungan, dan Masyarakat", hlm. 63 - 80. Editor Dr. Supratikno Rahardjo. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2007.