20 Februari 2008

Menjelajah Masa Lalu Lampung Timur


PEMUKIMAN KUNA DI DAERAH SUKADANA,
PROPINSI LAMPUNG



Nanang Saptono




I. PENDAHULUAN
Kawasan Lampung pada umumnya merupakan daerah yang selalu menjadi perebutan antara pusat kekuasaan di Sumatra dengan Jawa. Hingga saat ini, di Lampung belum ditemukan data yang menunjukkan adanya pusat kekuasaan besar. Namun pada sepanjang daerah aliran sungai-sungai besar yang ada di Lampung banyak ditemukan situs-situs arkeologi dan masih ada pemukiman-pemukiman yang menunjukkan perkembangan dari zaman kuna.

Pada masa klasik daerah Lampung menjadi wilayah Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur (608 Ç atau 686 M) yang ditemukan di dekat sungai Menduk di P. Bangka bagian barat berisi tentang kutukan kepada mereka yang berbuat jahat, serta tidak tunduk dan setia kepada raja. Di samping itu terdapat juga keterangan penting yaitu mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. P.V. van Stein Callenfels berpendapat bahwa kata “jawa” dalam prasasti Kota Kapur bukan merupakan suatu nama tetapi kata sifat yang berarti luar. Dengan demikian prasasti ini berkenaan dengan suatu ekspedisi ke luar negeri (Sumadio, 1990: 58 – 59). Boechari (1986) berpendapat prasasti Kota Kapur dikeluarkan untuk memperingati suksesnya ekspedisi tentara Sriwijaya dalam menaklukkan Lampung. Bhûmi jawa yang terdapat dalam prasasti Kota Kapur terdapat di daerah Lampung . Berkaitan dengan prasasti Kota Kapur yaitu prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, juga berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut juga memuat Bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Dari segi paleografis prasasti ini diduga juga berasal dari abad VII (Buchari, 1979). Dari beberapa prasasti yang ada terlihat bahwa pada masa klasik daerah Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Pada masa Islam, ketika Banten diperintah oleh Sultan Hasanuddin, wilayah kekuasaannya hingga Lampung dan daerah Sumatra Selatan. Wilayah kekuasaan di Sumatra ini banyak menghasilkan lada (merica) yang sangat berperan dalam perdagangan di Banten, sehingga membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India, bahkan Eropa. Keadaan seperti ini berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-18 (Graaf dan Pigeaud, 1985: 151-156).

Di dalam Sajarah Banten diceritakan bahwa pada masa Sultan Hasanuddin kekuasaannya hingga Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu (Djajadiningrat, 1983). Sehubungan dengan dugaan adanya kaitan antara prasasti Kota Kapur dengan daerah Lampung, terdapat beberapa toponim yang berhubungan dengan isi prasasti Kota Kapur dan beberapa pemukiman kuna. Toponim tersebut terdapat di sekitar aliran S. Sekampung dan S. Batanghari antara lain Bumijawa, Gedongdalem, Gedongwani, dan Negeritua.

Berdasarkan hal tersebut di atas terdapat permasalahan mengenai sejak kapan pemukiman tersebut berlangsung, apakah dari masa klasik (Sriwijaya) atau masa Islam (Banten). Selain itu diharapkan pula dapat diketahui perkembangan pemukiman yang terjadi pada daerah tersebut. Untuk mengungkapkan permasalahan ini pembahasan dilakukan berdasarkan tinggalan budaya materi yang terdapat pada masing-masing toponim tersebut.

Pelaksanaan penelitian menerapkan pola deskriptif dengan melalui pendekatan penalaran induktif. Pada tahap pengumpulan data dilakukan melalui teknik survei. Selain itu untuk pengumpulan data sejarah dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Penentuan lokasi observasi didasarkan pada sumber pustaka, peta topografi, dan keterangan yang didapatkan dari informan. Dari berbagai keterangan tersebut kemudian ditentukan pilihan objek yang diduga kuat mengandung data yang dapat menerangkan permasalahan.

Data yang dimaksud antara lain berupa bangunan misalnya makam (kuburan), masjid, rumah, dan sebagainya; benda-benda tinggalan misalnya keramik dan gerabah baik yang utuh maupun fragmen, benda-benda peralatan rumah tangga, arca, dan sebagainya; gejala hasil aktifitas manusia misalnya bekas lubang galian sampah, parit-parit kuna, dan sebagainya; keadaan alam misalnya bentang alam, tumbuhan, dan sebagainya.

Untuk memperlengkap, juga diperlukan data yang bersifat etnohistori. Data tersebut diperoleh melalui wawancara dengan penduduk yang mengetahui latar belakang data arkeologis di masing-masing situs. Selain dari wawancara, data etnohistori juga dicari dari sumber pustaka. Selain itu, data penelitian juga diperoleh melalui interpretasi terhadap peta topografi. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan.


II. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Wilayah Kecamatan Sukadana terdiri dari beberapa desa yang antara satu desa dengan lainnya relatif jauh. Secara umum dapat dikatakan merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Pemukiman penduduk hanya terkonsentrasi di sepanjang jalan desa.

Bentang alam daerah berupa pedataran rendah. Pada beberapa lokasi terdapat rawa-rawa. Secara umum ketinggian berkisar antara 10 hingga 140 m di atas permukaan laut. Puncak tertinggi adalah G. Tiga (147 m) dan G. Salupa (147 m). Lahan selain dimanfaatkan untuk pemukiman kebanyakan berupa ladang dan sawah. Sungai yang mengalir di daerah ini antara lain Way Raman, Way Batanghari, dan Way Sukadana yang merupakan anak sungai Way Seputih serta Way Sekampung dengan beberapa anak sungainya.

Penelitian di daerah Sukadana dilaksanakan terhadap beberapa objek arkeologi di Desa Bumijawa, Negeritua, dan Gedongwani. Karena dalam pelaksanaan pengumpulan data memperoleh keterangan yang menyatakan di daerah lain terdapat objek yang mendukung penelitian, maka dilakukan pula observasi di Kecamatan Batanghari yaitu di Desa Buana Sakti, dan di Kecamatan Seputih Raman di Desa Buyut Baru.


1. Kecamatan Sukadana

a. Desa Bumijawa
Desa Bumijawa berada di sebelah barat Sukadana. Data etno-histori yang berkaitan dengan Bumijawa menyebutkan bahwa di daerah Lampung terdapat empat kanegerian yaitu Ratu Dipuncak yang berkedudukan di Bukit Pesagi daerah Kenali, Ratu Balau (di Tulangbawang), Ratu Pogung (di Krui), dan Ratu Pemanggilan (di Tegineneng). Empat kanegerian ini berasal dari satu induk yang berkedudukan di daerah Martapura (Sumatera Selatan). Ratu Dipuncak mempunyai anak sembilan yang disebut “Jurai Siwa” (sembilan saudara). Salah satu anggota Jurai Siwa tersebut adalah Nuban yang kemudian menurunkan masyarakat Bumijawa.

Dalam salah satu silsilah keluarga milik Bp. Efendi Glr. Sutan Pangeran Junjungan Nuban, ketua adat masyarakat Bumijawa, cikal bakal Ratu Dipuncak adalah Tali Tunggal. Ratu Dipuncak sendiri merupakan keturunan ke-11. Beberapa nama keturunannya setelah Nuban yaitu Ratu Sang Balaikang, Minak Sang Bujang Ratu, Tuan Baliksyah, Minak Pengawo Bumi, Gajah Dalam, Minak Nyeringgem, dan seterusnya hingga Sutan Pangeran Junjungan Nuban yang merupakan keturunan ke-29.

Keturunan Nuban selalu bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. Lokasi di mana kelompok masyarakat ini tinggal selalu disebut Bumijawa. Ketika pindah dari daerah Kenali mula-mula menetap di daerah yang sekarang termasuk dalam wilayah administratif Desa Raman Indra di tepi Way Seputih, kemudian ke Gedongdalem di tepi Way Batanghari, dan akhirnya menetap di Desa Bumijawa sekarang.

- Situs Gedongdalem
Situs Gedongdalem merupakan salah satu bekas kampung Bumijawa. Situs ini berada di sebelah utara Way Batanghari atau pada posisi 5°03’ LS dan 105°25’ BT . Luas situs sekitar 200 X 100 m. Pada sisi timur dan barat situs terdapat parit yang menjadi batas pemukiman. Keadaan situs sekarang berupa kebun jagung. Pada lahan ini terdapat sebaran keramik dan gerabah dalam jumlah banyak. Menurut keterangan penggarap lahan, di lokasi ini juga sering ditemukan mata uang. Pengumpulan artefak yang dilakukan dalam penelitian berhasil menemukan fragmen keramik terdiri bagian bibir, badan, dan dasar; serta fragmen gerabah bagian bibir, badan, dan dasar.

Di sebelah barat parit sisi barat (sebelah barat situs) terdapat tiga gundukan tanah yang berjajar utara selatan. Menurut keterangan masyarakat setempat ketiga gundukan tanah tersebut adalah makam. Gundukan paling selatan merupakan makam istri Minak Nyeringgem yang bernama Midah. Gundukan tanah setinggi sekitar 2 m dengan diameter sekitar 3 m. Makam ini banyak ditumbuhi semak belukar. Pada puncak makam tidak dijumpai adanya batu atau kayu sebagai nisan. Di sebelah utara makam ini berjarak sekitar 8 m terdapat gundukan tanah yang dipercaya sebagai makam Putri Bagus (anak gadis Minak Nyeringgem). Gundukan tanah setinggi sekitar 1 m dengan diameter sekitar 2 m. Makam ini juga banyak ditumbuhi semak belukar. Di sebelah utara makam Putri Bagus merupakan makam Minak Nyeringgem. Gundukan tanah setinggi sekitar 2 m dengan diameter sekitar 4 m. Pada puncak gundukan terdapat beberapa bongkah batu. Selain semak belukar, pada makam ini tumbuh rumpun bambu.

- Dusun Bumijawa
Dusun Bumijawa dimaksudkan untuk menyebut pemukiman penduduk Bumijawa sekarang. Dusun Bumijawa berada di sebelah timur Gedongdalem berjarak sekitar 750 m. Pada lokasi ini tidak terdapat objek arkeologis yang bersifat monumental. Pengamatan pada pekarangan rumah beberapa penduduk, ditemukan beberapa fragmen keramik asing yang terdiri dari bagian bibir, badan, dan dasar. Selain artefak tersebut dalam penelitian ini telah dicatat adanya benda arkeologis yang bersifat bergerak yaitu naskah kuna dan keris. Naskah kuna dan keris pada saat sekarang disimpan di rumah Bp. Efendi Gelar Sutan Pangeran Junjungan Nuban.

Naskah dari bahan kertas folio bergaris dijilid kokoh dan rapi. Ukuran kertas 33 X 20 cm dengan ruang tulis berukuran 27 X 14,5 cm, tebal 183 halaman. Huruf yang digunakan aksara Lampung Kuna. Teks ditulis dengan tinta warna hitam. Pada awal bagian terdapat hiasan sulur-suluran dengan warna hijau, merah, kuning, dan hitam. Pada bagian cover dalam terdapat tulisan dengan huruf latin berbunyi: Buku Catatan Status Adat Lampung Yang Berlaku dari Abad ke Abad Milik Suttan Pasirah Mega, A. Thamrin (Bumi Jawa). Di belakang halaman ini terdapat catatan kelahiran keluarga.

Keris yang ada menurut keterangan Bp. Efendi bernama keris Sejepang. Sampai sekarang keris ini masih dikeramatkan. Keris tersebut tidak boleh disentuh oleh orang selain anggota keluarga. Dari pengamatan sepintas, warangka (selubung) keris terbuat dari kayu yang pada bagian tertentu dilapisi logam kuningan. Bilah keris berlekuk tiga dengan pegangan dari bahan kayu berukir.

b. Desa Negeritua
Desa Negeritua terletak di sebelah selatan Sukadana. Menurut cerita rakyat setempat, leluhur masyarakat Negeritua berasal dari Pagaruyung (Sumatera Barat). Tokoh pertama yang datang di daerah Lampung adalah Ngabehi Bapak Mas, Pangeran Gegeran Alam, dan Suttan Domas. Permukiman Negeritua pertama kali terletak di daerah Karyamukti (Bedeng 55), tepi Way Sekampung. Daerah ini sekarang secara administratif termasuk di dalam wilayah Desa Buana Sakti, Kec. Batanghari yang merupakan pemukiman transmigran asal Jawa. Dari daerah tersebut kemudian pindah ke Pukem tepi Way Pegadungan atau pada posisi 507’ LS dan 10528’ BT. Daerah ini sekarang secara adminisratif termasuk di dalam wilayah Desa Donomulyo yang juga merupakan pemukiman transmigran asal Jawa. Lokasi bekas pemukiman sekarang berupa tegalan dan sawah. Pada sekitar tahun 1909 pindah lagi ke lokasi yang sekarang ini.

c. Desa Gedongwani
Desa Gedongwani terletak di sebelah selatan Sukadana. Desa ini berada pada daerah aliran Way Sekampung atau pada posisi 5°14’ LS dan 105°29’ BT. Data etno-histori tentang Gedongwani (Yusuf, 1976) menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1532 Sultan Banten memerintahkan kepada seluruh penguasa Lampung untuk menghadap. Salah satu marga yang berkuasa yaitu Buay Selagai yang berkedudukan di kampung Gedong Kuripan, Abung Kotabumi, memenuhi perintah tersebut. Tokoh dari Buay Selagai yang berangkat ke Banten  istilah setempat siba  adalah Ratudinata. Perjalanan dari Gedong Kuripan melalui Way Ghagnem. Oleh Sultan Banten, Ratudinata diberi gelar Raden Cakradinata. Selama di Banten Raden Cakradinata merencanakan akan mengubah nama Gedong Kuripan menjadi Gedongwani. Di Banten Raden Cakradinata mendapat ajaran agama Islam yaitu dua Kalimah Syahadat dan surat Al-Ikhlas. Ketika kembali ke Lampung, Raden Cakradinata mendapat kenang-kenangan dari Sultan Banten berupa pintu gerbang atau Lawangkuri.

Sesampainya di Lampung tidak melalui Way Ghagnem tetapi lewat Way Sekampung. Sampai di suatu tempat perjalanannya terhalang air terjun akhirnya berhenti di situ dan membuka hutan untuk perkampungan sementara. Lokasi ini sekarang disebut Limau Saghakan, daerah Pancur, Tegineneng. Di sini hanya selama sekitar 3 tahun kemudian pindah ke arah hilir di daerah perbatasan Jabung. Kampung di lokasi ini dinamakan Gedongwani. Di lokasi ini bertahan hingga sekitar 50 tahun. Karena keadaan tanah tidak subur lagi kampung Gedongwani dipindahkan di dekat pertemuan antara Way Gěrěm dan Way Sekampung. Di lokasi ini bertahan hingga sekarang.

Objek arkeologis yang ada di daerah ini terbagi dalam tiga klaster. Klaster pertama (Gedongwani I) berada di dekat pertemuan antara Way Gěrěm dan Way Sekampung. Pada lokasi ini terdapat makam Baituhit. Klaster kedua (Gedongwani II) berada di sebelah timur laut Gedongwani I berjarak sekitar 500 m. Di lokasi ini terdapat komplek makam Raden Cakradinata. Klaster ketiga (Gedongwani III) terletak di sebelah timur laut Gedongwani II berjarak sekitar 500 m. Di sini terdapat makam Abu Hasan.


- Gedongwani I
Klaster Gedongwani I sekarang berupa kebun yang ditanami singkong. Lahan ini berada di sebelah barat laut pertemuan Way Sekampung dengan Way Gěrěm. Pada salah satu lahan disebutkan merupakan bekas rumah pesirah marga. Makam Baituhit berada pada lahan yang lebih tinggi dari sekitarnya, sehingga menyerupai bukit kecil. Posisi makam berada pada puncak bukit tersebut di bawah pohon benda (kibang).

Jirat makam berupa tatanan batu andesitik dengan orientasi arah barat laut-tenggara. Ukuran jirat panjang sekitar 2,8 m, lebar 1,5 m, tinggi 0,45 m. Jirat dilengkapi dua buah nisan berupa batu kali berbentuk memanjang tanpa pengerjaan. Jarak antara kedua nisan tersebut 1,90 m. Nisan di sebelah barat laut setinggi 25 cm, sedangkan nisan di sebelah tenggara tidak terukur karena tertanam di dalam tanah, hanya kelihatan bagian atasnya saja. Pengamatan di sekitar lahan ini ditemukan fragmen keramik, gerabah, kerak besi, dan besi tua. Pada tepi jalan raya di dekat makam Baituhit terdapat lahan bekas tempat tingga Pesirah Marga. Pengamatan pada lahan ini ditemukan kapak persegi.


- Gedongwani II
Klaster Gedongwani II merupakan ujung perkampungan sebelah tenggara. Makam Raden Cakradinata terdapat di sebelah barat pemukiman pada kebun di tepi sebelah utara Way Sekampung. Keadaan komplek makam Raden Cakradinata sudah dipugar oleh masyarakat. Makam berada di dalam bangunan cungkup terbuka tanpa dinding yang merupakan bangunan baru. Pintu masuk berada di sisi selatan sebelah barat. Di dalam cungkup terdapat dua makam dengan orientasi arah barat-timur. Kedua jirat makam tersebut juga merupakan bangunan baru.
Jirat makam Raden Cakradinata berada di sebelah utara. Jirat makam dilengkapi dua buah nisan. Jarak antara ke dua nisan tersebut 2 m. Nisan sebelah barat setinggi 50 cm sedangkan nisan sebelah timur setinggi 35 cm. Di sebelah selatan jirat makam Raden Cakradinata terdapat jirat makam lainnya. Menurut keterangan, jirat tersebut nerupakan makam pengawal Raden Cakradinata. Jirat ini juga dilengkapi dua buah nisan. Jarak antar nisan 1,5 m. Tingi nisan sebelah barat 33 cm dan sebelah timur 20 cm. Keempat nisan di komplek makam ini dibungkus kain putih, sehingga bentuk dan bahan nisan tidak diketahui. Di sebelah barat jirat makam Raden Cakradinata terdapat dua buah batu (nisan) berorientasi utara selatan. Menurut masyarakat setempat dua buah batu tersebut merupakan tanda makam burung beo milik Raden Cakradinata. Pengamatan pada pekarangan rumah penduduk di dekat makam ditemukan fragmen keramik dan mata uang.

Pada tepi jalan raya Gedongwani di depan rumah Bp. Nur Asikin, terdapat Lawangkuri. Lawangkuri ini disimpan pada semacam bangunan permanen berdinding. Bahan dari kayu berukir halus baik pada kusen maupun daun pintunya. Ragam hias pahatan/ukiran berupa motif sulur-suluran. Pada kusen bagian samping atas terdapat ragam hias bersifat konstruktif dengan motif semacam sayap burung. Ukuran keseluruhan lebar 210 cm dan tinggi 252 cm. Daun pintu terdiri dua bagian. Masing-masing daun pintu berukuran lebar 50 cm dan tinggi 175 cm (periksa Sukendar, 1984).


- Gedongwani III
Lahan klaster Gedongwani III berupa kebun kelapa. Di sini terdapat makam Ali Hasan. Menurut cerita rakyat Ali Hasan adalah utusan dari Sultan Banten. Di Gedongwani, tokoh ini sebagai penjaga hasil pertanian masyarakat. Suatu saat masyarakat mengetahui bahwa tokoh ini mempunyai kesaktian. Karena kesaktiannya akhirnya dihormati. Pada saat sekarang, apabila daerah Gedongwani kekeringan, masyarakat mengadakan shalat minta hujan (istisqa) di tanah lapang dekat makam.

Makam Ali Hasan terletak di sebelah barat laut makam Pangeran Cakradinata berjarak sekitar 500 m. Makam berada pada komplek makam umum. Letak makam berada pada bagian barat laut komplek. Keadaan makam sudah mengalami pemugaran. Jirat makam berorientasi arah utara-selatan berukuran panjang 2 m, lebar 1,6 m. Pada bagian kepala (utara) agak ditinggikan. Nisan sebelah utara dibungkus kain putih. Di sekeliling jirat terdapat tatanan batu dan pagar hidup. Pengamatan pada pekarangan penduduk di dekat makam ini banyak ditemukan fragmen keramik.



2. Kecamatan Batanghari

a. Desa Buanasakti
Penelitian di daerah ini dimaksudkan untuk melacak keterangan tentang asal mula kampung Negeritua. Desa Buanasakti merupakan pemukiman transmigran asal Jawa yang berada di sebelah selatan Way Sekampung berjarak sekitar 500 m. Menurut cerita tutur masyarakat setempat di daerah ini terdapat lahan bekas kampung Negeritua. Objek arkeologis yang terdapat di daerah ini berupa makam tokoh pendiri Negeritua.

Makam berada pada lahan di pinggiran pemukiman penduduk sebelah timur jalan desa. Keadaan makam sudah mengalami pemugaran. Komplek makam tidak dilengkapi cungkup. Pada komplek makam ini terdapat tiga buah jirat berbentuk berundak, yang berorientasi utara-selatan. Jirat makam sebelah selatan terdiri dua buah jirat yang menyatu. Jirat ini merupakan makam Pangeran Gegeran Alam dan Batin Dalam. Menurut keterangan masyarakat setempat, kedua tokoh ini merupakan dua bersaudara. Jirat makam Pangeran Gegeran Alam berada di sebelah timur sedangkan Batin Dalam di sebelah barat. Kedua jirat ini berukuran panjang 1,90 m dan lebar 1 m.

Di sebelah barat laut kedua jirat tersebut di atas berjarak sekitar 15 m terdapat jirat ketiga. Jirat ini merupakan makam Datuk Sebalung yang dipercaya merupakan guru Pangeran Gegeran Alam dan Batin Dalam. Jirat ini berukuran panjang 2,60 m dan lebar 1,35 m. Pengamatan di sekitar lahan ini tidak ditemukan indikator permukiman lainnya.


3. Kecamatan Seputihraman

a. Desa Buyut Baru
Observasi yang dilakukan di Desa Buyut Baru dilandasi data etno-histori tentang kampung Bumijawa. Desa Raman Indra sekarang, Kecamatan Seputihraman, merupakan lokasi perkampungan Bumijawa sebelum pindah ke Gedongdalem. Pelacakan yang dilakukan di Desa Raman Indra tidak ditemukan lokasi bekas pemukiman. Berdasarkan keterangan masyarakat setempat di Desa Buyut Baru terdapat beberapa makam kuna. Atas dasar keterangan tersebut, pelacakan dilakukan di Desa Buyut Baru.

Desa Buyut Baru terletak di tepi aliran Way Seputih pada posisi 450’ LS dan 10522’ BT. Objek arkeologi di daerah ini berupa makam Minak Sangjaya. Mengenai tokoh ini masyarakat setempat tidak begitu mengetahui, karena masyarakat sekarang merupakan transmigran asal Bali. Makam berada di tepi sebelah selatan Way Seputih berjarak sekitar 20 m. Lahan sekitar makam berupa kebun singkong.

Keadaan makam berupa bangunan permanen yang merupakan bangunan baru. Makam dilengkapi cungkup terbuka tanpa dinding. Di sebelah barat cungkup terdapat semacam tugu bertuliskan “Makam Minak Sangjaya, Terbanggi Besar”. Jirat makam Minak Sangjaya berorientasi barat-timur. Ukuran jirat panjang 1,70 m dan lebar 0,54 m. Pengamatan di sekitar lokasi makam tidak ditemukan artefak lainnya.



IV. ANALISIS

1. Feature
Beberapa pemukiman kuna di daerah Sukadana yang telah didata semuanya berada di tepi sungai. Batas pemukiman secara tegas tidak dapat diketahui karena di samping terganggu oleh kegiatan masyarakat sekarang, ada juga yang terus berkembang sebagai pemukiman hingga sekarang. Salah satu situs yang relatif masih dapat dikenali batas-batasnya adalah Gedongdalem. Berdasarkan sebaran artefak yang ada, batas pemukiman memanfaatkan sungai yang ada.

Salah satu unsur yang terdapat pada situs-situs yang telah diteliti adalah feature makam kuna. Di situs Gedongdalem terdapat makam leluhur yaitu makam Minak Nyeringgem, Midah, dan Putri Bagus. Makam-makam tersebut berada di luar pemukiman namun masih dalam satu lokasi. Makam kuna yang terdapat di situs Gedongdalem, keadaannya hanya berupa gundukan tanah yang tidak jelas orientasinya. Makam yang ada pada situs-situs di daerah Sukadana mempunyai ragam yang berbeda-beda. Hanya saja kebanyakan makam yang ada sudah tidak “asli” lagi. Kelengkapan makam berupa nisan, jirat, dan cungkup semuanya menunjukkan sebagai bangunan baru. Bentuk makam yang terdapat di situs Gedongdalem kemungkinan merupakan bentuk “asli”. Keadaan beberapa makam yang ada sebagaimana matriks berikut:

Keadaan Makam Kuna di Daerah Sukadana

Tokoh

Orientasi

Nisan

Jirat

Catatan

Midah

?

X

gundukan tanah


Minak Nyeringgem

?

X

gundukan tanah


Putri Bagus

?

X

gundukan tanah


R. Cakradinata

B – T

V

plesteran bata

bangunan baru

Pengawal R. Cakradinata

B – T

V

plesteran bata

bangunan baru

Baituhit

BL – Tg

V*)

tatanan batu

*) batu tanpa pengerjaan

Ali Hasan

U – S

V

plesteran bata

bangunan baru

P. Gegeran Alam

U – S

V

plesteran bata

bangunan baru

Batin Dalam

U – S

V

plesteran bata

bangunan baru

Minak Sangjaya

B – T

V

plesteran bata

bangunan baru

Keterangan: B barat BL barat laut

T timur Tg tenggara

U utara X tidak ada

S selatan V ada


Dari matriks di atas terlihat bahwa orientasi makam yang tersebar di daerah Sukadana tidak sama. Makam kuna yang terdapat di situs Gedongdalem yaitu makam Midah, Minak Nyeringgem, dan Putri Bagus tidak jelas orientasinya karena bentuk makam berupa jirat gundukan tanah yang membulat tanpa nisan. Pada makam yang lain orientasinya dapat dilihat dari bentuk jirat dan nisan. Namun bangunan yang ada tersebut merupakan bangunan baru, sehingga validitas orientasinya dinilai rendah.

Bentuk feature berupa gundukan tanah (tumulus) terdapat juga di situs Bentengsari, Kecamatan Jabung. Di situs ini gundukan tanah berada di dalam benteng tanah. Selain gundukan tanah juga terdapat beberapa makam kuna dan batu dakon (Agus, 1997/1998). Berdasarkan perbandingan dengan keadaan feature di situs Bentengsari, situs Gedongdalem, menunjukkan berasal dari masa pra-Islam. Tumulus yang terdapat di situs Bentengsari berasosiasi dengan batu dakon. Dengan demikian dapat disimpulkan sebagai hasil budaya tradisi megalitik.


Bila orientasi makam yang lain memang dari semula begitu, maka terdapat suatu perubahan orientasi. Makam R. Cakradinata dan pengawalnya, serta makam Minak Sangjaya berorientasi barat-timur. Makam Baituhit berorientasi tenggara-barat laut. Sedangkan makam Ali Hasan, P. Gegeran Alam, dan Batin Dalam berorientasi utara-selatan. Berdasarkan orientasi makam dapat diduga bahwa makam yang berorientasi utara-selatan merupakan makam dari zaman Islam. Sedangkan yang lainnya bukan dari masa Islam.



2. Artefak
Artefak yang ditemukan di beberapa situs yang telah diteliti kebanyakan berupa gerabah dan keramik. Namun selain itu juga terdapat kapak persegi, kerak besi, dan mata uang kepeng. Secara keseluruhan densitas temuan sebagai berikut:

Densitas Temuan Artefak

Situs

Keramik

Gerabah

Kerak Besi

Mata Uang

Kapak Persegi

Jumlah

Berat

Jumlah

Berat

Gedongdalem

93

1110

3

128

X

X

X

Bumijawa

5

26

X

X

X

X

X

Gedongwani I

4

33

X

X

V

X

1

Gedongwani II

28

271

X

X

X

X

X

Gedongwani III

8

245

X

X

X

1

X

Keterangan: X tidak ada

V ada

berat dalam satuan gram



Berdasarkan densitas temuan artefak dapat memperlihatkan intensitas penghunian situs. Matriks di atas memperlihatkan bahwa intensitas penghunian situs paling tinggi di Gedongdalem, kemudian di Gedongwani. Di Gedongwani hunian paling intensif di klaster II dan III. Di klaster I ditemukan adanya kapak persegi. Hal ini memperlihatkan bahwa pada klaster tersebut pada masa bercocok tanam tingkat lanjut (neolitik) sudah dihuni. Selain itu juga ditemukan adanya kerak besi yang menunjukkan adanya aktifitas industri logam. Dengan demikian dapat ditarik suatu hipotesis bahwa penghunian situs Gedongwani bermula dari klaster I kemudian berkembang ke klaster II dan III, atau pusat pemukiman di klaster II dan III sedangkan klaster I dipakai untuk kawasan industri logam.

Keramik yang ditemukan pada suatu situs menunjukkan adanya sistem pertukaran dengan daerah lain. Pertukaran ini bisa berupa perdagangan. Dengan ditemukannya mata uang semakin memperkuat adanya kegiatan perdagangan. Aktifitas sehari-hari dapat dilihat dari tipologi gerbah dan keramik. Gerabah yang ditemukan di situs Gedongdalem berjumlah tiga buah yang merupakan bagian bibir, badan, dan dasar. Secara tipologis fragmen gerabah tersebut berasal dari bentuk tempayan. Fragmen keramik yang ditemukan di beberapa situs juga merupakan bagian bibir, badan, dan dasar. Analisis tipologis keramik menunjukkan berasal dari bentuk mangkuk (MK), piring (PR), cangkir (CK) sendok (SD), tutup (TTP), botol (BTL), vas, dan ada yang tidak diketahui bentuk asalnya (?). Secara rinci terlihat sebagai berikut:

Tipologi Keramik Sukadana

Situs

MK

PR

CK

SD

TTP

BTL

VAS

?

Jml

Gedongdalem

48

37

2

1

-

3

1

1

93

Bumijawa

1

3

-

-

-

1

-

-

5

Gedongwani I

4

-

-

-

-

-

-

-

4

Gedongwani II

7

19

-

1

1

-

-

-

28

Gedongwani III

7

-

-

1

-

-

-

-

8

Jumlah

67

59

2

3

1

4

1

1

138



Hasil analisis keramik secara tipologis menunjukkan bahwa bentuk mangkuk paling banyak ditemukan, kemudian berurut-turut bentuk piring, botol, sendok, cangkir, tutup, dan vas. Satu-satunya tutup yang ditemukan di situs Gedongwani III berupa tutup botol (mungkin botol minuman) yang bertuliskan TAN TJIN TJIANG & Co Telok Betong. Berdasarkan tipologis temuan keramik dapat menggambarkan bahwa artefak tersebut merupakan benda keperluan sehari-hari.

Keramik asing mempunyai ciri-ciri tertentu yang dapat menunjukkan asal daerah dan kronologinya. Hasil analisis secara kronologis terlihat sebagaimana berikut:


Asal dan Kronologi Keramik Sukadana

Situs

Cina

Annam

Eropa

Jumlah

Song

Yuan

Ming

Qing

Gedongdalem

1

4

31

25

3

29

93

Bumijawa

-

-

-

2

-

3

5

Gedongwani I

-

-

2

-

2

-

4

Gedongwani II

-

-

4

2

1

21

28

Gedongwani III

-

-

1

1

5

1

8

Jumlah

1

4

38

30

11

54

138



Keramik dari Cina paling banyak ditemukan, kemudian dari Eropa, dan Annam. Secara kronologis keramik Cina yang ditemukan berasal dari zaman dinasti Song (960 – 1279, atau abad X – XIII), Yuan (1280 – 1368, atau abad XIII – XIV), Ming (1369 – 1644, atau abad XIV – XVII), dan Qing (1645 – 1911, atau abad XVII – XX). Keramik Annam berasal dari abad XIV – XVI, sedangkan keramik Eropa dari abad XVIII – XX.


V. ASAL MULA DAN PERKEMBANGAN PEMUKIMAN DI DAERAH SUKADANA
Catatan Tomé Pires mengenai kawasan Lampung terdapat dua nama yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Dua nama ini disebutnya sebagai suatu negeri dalam arti bukan kerajaan (Cotesão, 1967: 136). Sekampung dapat diidentifikasikan sebagai kawasan di sekitar Way Sekampung sekarang. Meskipun Sekampung dikatakan bukan suatu kerajaan, tetapi diberitakan oleh Pires sebagai negeri yang berlimpah ruah. Lokasinya berdekatan dengan Tana Malaio dan Tulang Bawang. Sekampung sudah menjalinan hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Beberapa barang komditasnya antara lain kapas, emas, madu, lilin, rotan, lada, beras, dan hasil bumi lainnya. Pemimpin di Sekampung ketika itu (antara tahun 1512 – 1515) masih kafir. Masyarakatnya terutama yang tinggal di daerah hulu juga masih kafir (Cotesão, 1967: 158). Daerah Sukadana dilihat dari lokasinya masih dapat dikatakan sebagai kawasan Sekampung.

Menurut data etno-histori yang diperoleh selama observasi, menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah Sukadana merupakan masyarakat migran yang berasal dari tiga kawasan. Kelompok masyarakat ini telah beberapa kali melakukan perpindahan lokasi. Masyarakat yang sekarang tinggal di Desa Bumijawa menyatakan sebagai keturunan Ratu Dipuncak dari Bukit Pesagi, Kenali. Masyarakat Negeritua menyatakan sebagai keturunan Ngabehi Bapak Mas, Pangeran Gegeran Alam, dan Suttan Domas berasal dari Pagaruyung. Sedangkan masyarakat Gedongwani sebagai keturunan Buay Selagai dari Kotabumi.


Kajian terhadap populasi masyarakat Lampung yang pernah dilakukan Olivier Sevin menyimpulkan bahwa terdapat empat gelombang migrasi (Falah, 1995; Sevin, 1989). Sebagai penghuni tertua dan dianggap penduduk asli Lampung adalah Orang Pubian. Empat gelombang migrasi yang kemudian terjadi adalah gelombang Sekalaberak, Banten, Palembang, dan Kolonisasi. Gelombang Sekalaberak adalah masyarakat migran yang berasal dari kawasan sekitar Danau Ranau. Wilayah Sekalaberak khususnya daerah Belalau merupakan daerah dengan populasi yang sangat tinggi. Sevin memperkirakan gelombang migrasi dari Sekalaberak berlangsung pada sekitar abad XIV, gelombang Banten pada abad XVII demikian juga gelombang Palembang, dan Kolonisasi terjadi pada abad XIX.


Cerita tutur masyarakat, khususnya dari Bumijawa, menyatakan bahwa di Lampung semula dikenal terdapat empat penguasa lokal yaitu Ratu Dipuncak di Bukit Pesagi, Ratu Balau di Tulangbawang, Ratu Pogung di Krui, dan Ratu Pemanggilan di Tegineneng. Keempat penguasa ini berasal dari satu induk yaitu dari daerah Martapura. Bila dikaitkan dengan gelombang migrasi tersebut di atas, empat penguasa tersebut merupakan masyarakat yang tergolong ke dalam gelombang Sekalaberak.


Di daerah Sukadana sendiri terdapat tiga masyarakat yang berasal dari dua gelombang migrasi. Masyarakat Negeritua yang berasal dari Pagaruyung tampaknya tidak dapat dimasukkan dalam golongan gelombang migrasi di atas. Sedangkan masyarakat Bumijawa dan Gedongwani dari gelombang Sekalaberak. Kelompok masyarakat ini mempunyai pola bermukim yang sama yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Perpindahan lokasi ini cenderung dikarenakan kualitas lahan yang sudah tidak memenuhi kebutuhan lagi. Hal yang menarik, setiap pindah lokasi nama kampung tidak mengalami perubahan.


Kapan masing-masing kelompok masyarakat tersebut bermukim di daerah Sukadana dapat ditelaah melalui data sejarah dan arkeologis. Masyarakat Negeritua sedikit agak susah menelusurinya. Hal ini karena situs-situs yang merupakan bekas pemukiman Negeritua sudah banyak yang terganggu. Observasi yang dilakukan tidak menemukan keramik yang dapat dijadikan acuan kronologis secara relatif. Pemukiman pertama di Karya Mukti sekarang (Bedeng 55) masih menyisakan adanya makam para tokoh cikal bakal. Berdasarkan makamnya, para tokoh tersebut menunjukkan sebagai penganut Islam yang sudah mantap. Sedangkan islamisasi di Lampung baru berlangsung pada masa Banten (abad XVI). Meskipun demikian tokoh cikal bakal masyarakat Negeritua sudah menganut Islam sejak dari tanah asalnya yaitu di Pagaruyung. Tomé Pires yang mengunjungi Sekampung pada awal abad XVI belum menjumpai masyarakat muslim. Karena Islam sudah dianut para tokoh Negeritua maka dapat diperkirakan masyarakat Negeritua bermukim di daerah Sukadana pada sekitar pertengahan abad XVI – XVII.


Masyarakat Bumijawa sekarang sudah mengalami perpindahan setidak-tidaknya tiga kali. Pertama kali datang di Lampung bermukim di Desa Buyut sekarang, yaitu di tepi Way Seputih. Sayang di situs ini kurang mendapat data yang kuat. Selanjutnya menetap di Gedongdalem. Situs ini berdasarkan tinggalan keramik yang ada, intensif dihuni pada sekitar abad XIV hingga awal abad XX. Ketika prasarana lalu lintas tidak lagi memanfaatkan sungai, Bumijawa pindah lagi ke lokasi sekarang. Beberapa tinggalan arkeologis yang disimpan sesepuh setempat meunjukkan berasal dari masa-masa yang muda (abad XX). Ketika menetap di situs Gedongdalem, latar belakang religinya, berdasarkan feature makam, pada mulanya masih memperlihatkan tradisi pra-Islam, yaitu tradisi megalitik. Ketika Banten secara intensif melakukan islamisasi tradisi megalitik ditinggalkan dan beralih ke Islam.


Sedangkan masyarakat yang tinggal di Gedongwani, berdasarkan data etno-histori mula-mula terjadi pada sesudah tahun 1532, yaitu ketika Raden Cakradinata kembali siba dari Banten. Keramik tertua yang ditemukan di Gedongwani berasal dari abad IV. Islam pada awal mulanya belum begitu mantap dianut oleh masyarakat Gedongwani. Makam-makam tertua masih belum menunjukkan sebagai penganut Islam yang mantap. Masyarakat Gedongwani semakin mantap dalam memeluk Islam dipengaruhi oleh adanya tokoh dari Banten yaitu Ali Hasan yang menetap dan meinggal di Gedongwani. Benda arkeologis yang terdapat di Gedongwani (Lawangkuri) memperlihatkan adanya hubungan antara Gedongwani dengan Banten.


Dalam kaitanya dengan Sriwijaya, yaitu sebutan Bhûmi jawa dalam beberapa prasasti Sriwijaya, semula ada dugaan bahwa masyarakat desa Bumijawa di Lampung adalah merupakan masyarakat transmigran dari Jawa. Hasil observasi menunjukkan bahwa Bumijawa di Sukadana adalah perkampungan masyarakat “asli” Lampung. Prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah berasal dari abad VII. Sedangkan Bumijawa yang ada di Lampung berdasarkan analisis keramik diperkirakan berlangsung mulai abad XIV. Dengan demikian dapat dipastikan Bhûmi jawa yang dimaksudkan prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah bukan Bumijawa yang terdapat di Sukadana. Namun harus dipertimbangkan bahwa masyarakat Bumijawa di Sukadana merupakan masyarakat migran yang selalu membawa juga nama daerah asal ke daerah baru.


Keterangan etno-histori menyebut bahwa masyarakat Bumijawa berasal dari Bukit Pesagi dan sebelumnya tinggal di sekitar daerah Martapura sekarang. Kawasan ini dalam tradisi disebut sebagai Sekalaberak yang cakupan wilayahnya di sekitar Danau Ranau. Pada masa klasik daerah di sekitar Danau Ranau memang merupakan kawasan potensial. Di Jepara terdapat runtuhan candi. Meskipun hanya runtuhan, Candi Jepara memberi kesan termasuk candi tua. Pada sebagian batunya tidak berhias ukiran, tetapi ada yang membentuk setengah bulat dan sisi genta. Bentuk demikian ini banyak dijumpai pada candi-candi tua di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Soekmono, 1985). Berdasarkan gaya bangunannya candi Jepara diperkirakan berasal dari abad IX – X. Di daerah Bawang terdapat prasasti yang kemudian dinamakan Prasasti Hujung Langit sesuai dengan sebutan dalam prasasti itu. Damais (1962) memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau 997 M. Pengaruh Jawa tampak dalam sistem penanggalannya. Pengaruh Jawa yang terdapat pada prasasti, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all, 1996: 116). Apabila nafas Jawa yang terdapat di kawasan sekitar Danau Ranau dikaitkan dengan prasasti Kota Kapur juga tidak sesuai. Namun kemungkinan kawasan sekitar Ranau sudah dihuni jauh-jauh sebelum masa prasasti Hujung Langit dan Candi Jepara dapat diterima apabila ada data yang memperkuatnya. Hipotesis yang menyatakan Bhûmi jawa berada di Lampung masih harus memerlukan data penguat yang mungkin dapat dicari di sekitar Danau Ranau atau daerah Martapura, Sumatra Selatan, bukan di Lampung.




VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa pada daerah yang telah diteliti terdapat beberapa situs pemukiman yang ditandai dengan temuan sebaran artefak berupa fragmen keramik, gerabah, kerak besi, mata uang, dan alat batu, serta makam kuna.

Beberapa pemukiman yang ada berdasarkan data etno-histori telah mengalami beberapa kali perpindahan. Setiap kali pindah lokasi, nama daerah tidak mengalami perubahan. Pemukiman tersebut adalah Bumijawa, Negeritua, dan Gedongwani. Cikal bakal masyarakat Negeritua berasal dari Pagaruyung. Sedangkan masyarakat Bumijawa dan Gedongwani berasal dari satu keturunan. Cikal bakal masyarakat kedua pemukiman tersebut berasal dari daerah Martapura (Sumatra Selatan). Ketika pindah dari daerah Martapura tempat yang disinggahi pertama kali adalah daerah Kenali sekarang. Dari sini kemudian terpecah menjadi beberapa marga yang ada sekarang.


Latar belakang religi adalah sebagai penganut Islam. Persebaran Islam di daerah ini berasal dari Banten. Berdasarkan data etno-histori ajaran Islam masuk di daerah ini disampaikan oleh tokoh setempat yang pergi ke Banten untuk mempelajari Islam kemudian kembali ke Lampung dan menyebarluaskannya. Dilihat dari data arkeologis yang berupa beberapa makam kuna, tampak bahwa sebelum ajaran Islam masuk, religi yang dianut adalah kepercayaan prasejarah (tradisi megalitik). Beberapa makam kuna ada yang berorientasi barat-timur dan ada pula yang tidak jelas. Kebanyakan makam jirat dan nisannya sangat sederhana tanpa pengerjaan. Artefak dan data pendukung lain yang meunjukkan latar belakang agama Hindu-Buddha tidak ditemukan. Dengan demikian religi yang berkembang pada masyarakat dari tradisi megalitik kemudian agama Islam.


Berkaitan dengan persoalan kata “bhumijawa” pada prasasti Kotakapur, tampak bahwa Bumijawa yang terdapat di daerah Lampung bukan merupakan Bumijawa yang terdapat di dalam prasasti Kotakapur. Namun mengingat bahwa terdapat kebiasaan tidak mengubah nama bila melakukan pindah lokasi, maka penelusuran nama Bhûmi jawa dapat dilakukan di daerah asal Bumijawa yaitu di kawasan Sekalaberak atau Martapura (Sumatra Selatan).




Kepustakaan

Agus. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Daerah Pugung Rahajo dan Sekitarnya, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung (Kajian Geologi dan Geomorfologi). Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).

Boechari. 1979. “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong)”. Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

-----------. 1986. “New Investigations on The Kedukan Bukit Inscription”. Dalam Untuk Bapak Guru.Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Cotesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.

Damais, L Ch. 1962. “Études Soumatranaises, I: La date de l’inscription de Hujung Langit (Bawang)”. Dalam BEFEO, L (2).

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.

Falah, Anwar. 1995. “Pengenalan Geografis Kawasan Lampung (Satu Kajian Ringkas)”. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.

Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.

Guillot, Claude; Lukman Nurhakim; Sonny Wibisono. 1996. Banten Sebelum Zaman Islam, Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, École Française d’Extrême-Orient, Penerbi Bentang.

Sevin, Olivier. 1989. “History and Populations”. Dalam Transmigration. Jakarta: Orstom-Departemen Transmigrasi.

Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The Binjamin/Cummings Publishing.

Soekmono. 1985. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sukendar, Haris; Soekatno Tw; Surjono. 1984. “Laporan Survei Lampung”. Dalam Satyawati

Suleiman, et all (ed.) Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yusuf P.R, M. 1976. “Sejarah/Cerita Waktu Siba ke Banten Mendapatkan Hadiyah Lawang Kuri/Pintu Gerbang yang ada Sekarang ini di Kampung Gedongwani” Manuskrip.


Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di dalam buku berjudul "Rona Arkeologi", Penyunting Ir. Edy Sunardi, M. Sc., Ph. D. dan Dr. Agus Aris Munandar. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2000.